Candi Sambisari
Yogyakarta
memiliki banyak tempat wisata yang unik dan menarik. Dari beragam jenis wisata
yang lengkap dan mantap, salah satunya adalah tebaran candi-candi nan eksotis.
Dari yang berada di tempat datar, di lereng perbukitan, hingga yang di bawah
permukaan tanah dengan salah satunya adalah Candi Sambisari. Candi Sambisari
ini terletak di desa Sambisari (biasanya nama Candi sama dengan nama daerah
tempat lokasi Candi itu berada), Kelurahan Purwomartani, Kecamatan Kalasan,
Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini pertama kali
ditemukan sekitar bulan Juli tahun 1966 oleh seorang petani yang sedang
mencangkul lahan milik Karyowinangun dan terbentur batu ukir reruntuhan candi.
Ternyata temuan tanpa sengaja tersebut merupakan bagian kecil dari sebuah
gugusan candi yang terpendam hingga kedalaman 6,5 meter di dalam tanah yang
merupakan endapan lahar vulkanis dari Gunung Merapi. Hal ini terkait dengan
lokasi Candi Sambisari yang dekat dengan sungai Kuning yang dapat serta-merta
membanjirkan luapan material di sekitar daerah aliran sungai yang dilaluinya. Namun
jika kita berada pada persepsi lain dari sejarah yang masih berupa mitos atau
legenda Nusantara, bisa jadi Candi Sambisari ini adalah salah satu candi yang
dikubur nenek moyang untuk menghindari suatu bencana yang akan datang, atau
suatu hal yang sudah diramalkan agar tidak diketahui pihak berlawanan hingga
pada waktunya dapat ditemukan.
Candi Sambisari ini diperkirakan dibangun pada
sekitar abad ke-9 Masehi dengan mengalami proses penggalian dan pemugaran yang
cukup panjang dari tahun 1966 M,
kemudian tahun 1975-1977 M.
Dari
Bandara Internasional Adisucipto,
letaknya cukup dekat sekitar 2,2 Km. Dari pertigaan Jalan Solo – Bandara
Adisucipto ke arah timur melewati jembatan sungai Kuning, beberapa ratus meter
dari situ akan ada papan penunjuk jalan Candi Sambisari menuju jalan kecil ke
arah utara sekitar 1 – 2 Km melewati hamparan
persawahan yang lega di wilayah Sorogenen dan Kadisoka serta menyeberangi
selokan Mataram. Setelah dekat dengan lokasi akan mendapati Gapura desa
Sambisari dan langsung disambut deretan kios-kios kuliner dan berbagai hasil
kerajinan khas Yogyakarta yang juga merangkap kompleks area parkir yang
terbatas. Tapi jangan kaget dan kira-kira kesasar, jika dari area parkir masih
belum tertampak batang hidungnya Candi Sambisari yang karena letaknya 6,5 meter di bawah permukaan
tanah. Dari sini mungkin sedikit unik untuk mengundang rasa penasaran dari
perwujudan destinasi candi yang tenggelam dan masih belum terlihat dari jauh.
Sebelum menghadap tiket pembayaran anda pun sudah cukup lega di perlihatkan
taman penghias kompleks Candi Sambisari yang cukup rimbun dan asri mengelilingi
di atas persembunyian Candi tersebut.
Dari
kesejukan suasana yang tercipta di sekelilingnya, candi ini bisa menjadi
pilihan hemat tempat berbulan madu, bermadu kasih, studi wisata, atau pun
sekedar melepas penat para petualang dan pelancong dengan hanya menebus tiket
masuk Rp. 5.000,- saja. Begitu mendekati dan mengintip langsung persembunyian
Candi Sambisari di bawahnya, Ciluk... Baaa... akan kembali disuguhkan
pemandangan luar biasa dari atas bagaikan sedang berada stadion sepak bola atau
gelanggang olahraga yang terbuka. Waow... tapi ini juga bukan Collosseum Roma
ya, ini merupakan kelompok percandian yang terdiri dari sebuah candi induk dan
3 buah candi Perwara di depannya. Imajinasi lain justru akan terbawa pada
kompleks pura di Bali dan peninggalan suku Aztec dan Maya di benua Amerika.
Coba saja perhatikan corak tangga dan gapura yang terukir, pesan dan kesan masa
lalu pun akan semakin menguat bahwa sesungguhnya leluhur bangsa Maya dan Aztec
pun berasal dari Nusantara yang kala itu
masih berupa wilayah daratan Atlantis (dangkalan Sunda dan dangkalan Sahul) di
zaman Es. Hal itu juga dapat tersirat dari para bangsa Barat penjelajah
Amerika, terutama bangsa Spanyol. Dari situ salah satu dari mereka pernah
mencatat percakapan mereka dengan suku Astec yang mengatakan bahwa suku mereka
awalnya berasal dari daratan Atzlan (ini merupakan sebutan suku Aztec untuk
daratan Atlantis) yang tenggelam dan
mengungsi ke daratan Amerika. Dan hal itu terukir dalam relief bangunan Candi
suku Aztec yang menggambarkan seseorang sedang mendayung mengarungi lautan.
Tak ketinggalan pula jika anda amati guratan simbolis
anak tangga yang membuat saya juga cukup terkejut, ternyata ukiran manusia
sebagai tiang penyangga yang menjadi simbolis di beberapa bangunan kuno Yunani
juga ada di situ. Sisi lain dari simbolis kehidupan para raksesa-rakseksi
bangsa Titan seperti Atlas yang dikenal sebagai penyangga dunia dari mitologi
Yunani, atau Panku dari mitologi Cina. Kalau di Jawa kemungkinan dari bangsa
raksasa Meganthropus Paleojavanicus ya?
Dari
keempat bangunan candi, yang masih bisa diperlihatkan secara utuh adalah
bangunan induk. Candi induk menghadap ke arah barat dengan dijumpai yang
menarik dari batu-batu pipih semacam umpak di sepanjang selasarnya. Batu-batu
tersebut mempunyai tonjolan berbentuk bulan dan persegi. Dengan bagian dalam
merupakan tempat bersemayamnya lingga dan yoni sebagai lambang khas perabadan
peninggalan bercorak Hindu yang merupakan perlambangan dari Dewa Siwa (lingga)
dan istrinya Sakti (yoni). Namun di sisi
lain itu juga merupakan simbol alat kelamin hewani (jantan/pria dan
betina/lelaki). Pada sisi luar tubuh candi induk terdapat relung-relung yang
ditempati oleh beberapa arca yaitu Arca Durga (sisi utara), arca Ganesha (sisi
timur) dan arca Argastya (sisi selatan), untuk 2 buah arca di pintu masuk yakni
Mahalial dan Nandiswara telah hilang di curi pada tahun 1971.
Jika
sudah lelah berkeliling dan ingin mencicipi wisata kuliner yang sedikit berbeda
dari sekitar area parkir, dapat juga meluncur ke selatan hingga ke selokan
Mataram kemudian berbelok ke arah timur hingga mendapati warung “Soto Gerabah
Daging Sapi Mbok Tuginem” di sebelah selatan selokan Maataram. Selain dapat
menebus murah Soto dengan harga Rp.6.000,- per porsi, juga plus disuguhkan
destinasi lega hamparan persawahan dan gubuk lesehan yang sejuk dan tradisional
yang dapat membawa sensasi seperti sedang berada di suasana zaman kerajaan Indonesia abad pertengahan.
Untuk
melengkapi destinasi lain, setelah dari warung Mbok Tuginem teruslah melaju
menyusuri selokan Mataram lebih ke arah timur akan di dapati pesawat-pesawat
yang bercokol di area persawahan di selatan selokan Mataram, di tepi jalan ke
arah selatan menuju Gudang Bulog, UKRIM (Universitas Kristen Marantha) serta
tempat Ujian Masuk para calon mahasiswa-mahasiswi STAN (Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara) dan jalan Solo. Namun pesawat ini bukan kesasar mendarat dan
parkir sembarangan, direncanakan tempat pesawat bercokol itu akan dibuka
sebagai semacam taman museum penerangan untuk edukasi tentang pesawat terbang.
Tapi ada juga warga sekitar yang mengatakan akan dibuka sebagai restorasi yang
unik dan nyentrik tentunya jika benar-benar ada nantinya. Wah...wah... akan
semakin bertambah banyak lagi pilihan wisata Yogyakarta yang bisa didatangi dan
dinikmati secara berurutan dengan lokasi yang berdekatan, dan uniknya semua
dengan destinasi yang lapang dan lega. Bagi yang ingin menikmati kunjungan
wisata yang cukup melegakan dan melapangkan pandangan, kompleks wisata Candi Sambisari
ini bisa jadi pilihan.
Frankincense (Yogyakarta, 18 April
2018)
Komentar
Posting Komentar