PITASAKA – Pitik Tarung Sak Kandang


Setelah PILKADA serentak tahun ini, tahun 2019 mendatang Indonesia akan kembali menggelar perhelatan akbar untuk menentukan masa depan bangsa dan negara, salah satunya dengan memilih calon kandidat untuk orang nomer 1 di Indonesia yang akan memimpin selama 5 tahun ke depan. Dengan suhu politik terkait hal tersebut dalam nasionalisme berpengaruh pada suasana humanisme yang cenderung memanas, kadar atau kualitas hubungan Indonesia dalam jargon hubungan nasionalisme pun mengalami pasang-surut. Pada saat tertentu Indonesia bisa berada pada kadar yang baik yang ditandai keharmonisan, kebersamaan, dan kerjasama yang menyenangkan berkesinambungan. Namun, pada saat yang lain dapat saja mengarah pada kadar yang kurang baik yang ditandai oleh adanya perbedaan dan kekecewaan. Perbedaan itu pada mulanya bersifat laten atau tersembunyi, artinya seseorang sebenarnya tidak sepaham dengan orang lain namun masih disimpan dalam perasaannya sendiri. Indonesia masih tidak sepaham dengan bangsa dan negaranya sendiri kecuali dalam kepentingan yang laten dan tersembunyi, penyuapan, penimbunan dan penyelundupan. Aneh tapi nyata, ketidakcocokan maupun kecocokan para pelaku hubungan nasionalisme di Indonesia saling berkelindaan jungkir-balik.

Apabila perbedaan dan ketidakcocokan yang semula disimpan, ternyata semakin lama semakin membesar, maka dapat saja perbedaan atau ketidakcocokan  itu akhirnya bersifat manisfest (nyata) setelah diekspresikan dengan cara tertentu, misalnya dengan klarifikasi, protes, bahkan demonstrasi. Tak ketinggalan pula sifat ghost-agression (maya), di mana pengekspresian dengan cara yang terselubung seperti teror dan horor. Hal inilah yang semakin hari menjadi semakin indah pemberitaan aktual yang setia pada pancaran fenomenal “PITASAKA” (Pitik Tarung Sak Kandang) yang tersemat di antara busungan dada jas-jas kebesaran para pemilik kekuasaan dan kekuatan yang siap mengadu dan menghisap darah bangsa dan negara mereka sendiri. Di mana negara-negara lain sudah semakin berkonsentrasi pada global passion yang positif sebagai bangsa yang maju di percaturan dunia, sementara Indonesia masih harus terpecah konsentrasi yang bahkan sering gagal fokus pada nasionalisme sebagai bangsa yang berkembang di perbenturan negara dalam prahara.



Dari hasil persematan “pitik tarung sak kandang” ini, bangsa Indonesia menghasilkan sisi lain problema yang  unik sebagai dampak PITASAKA tersebut menjadikan adanya generasi “pitik walik saba kebon”. Ya, PeWe (Pitik Walik) inilah generasi Indonesia  zaman now yang semakin bertebaran untuk saling berselisih dengan bangsanya sendiri di mana-mana. Entah disadari atau tidak, Indonesia ini sudah semakin kronik menghasilkan PeWe sebagai generasi masa depan yang berpendidikan (secara akademik) dan penyakitan. Dan pengaruh buruk budaya kerajaaan, kolonial dan Orde Baru masih sangat kuat dan kental sekali sebagai penyebab dan gejala yang diturunkan para nenek moyang hingga generasi PeWe di zaman now. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kadar hubungan nasionalisme akibat persematan “PITASAKA” (Pitik Tarung Sak Kandang) dari generasi PeWe (Pitik Walik) sebagai tanda bahaya ke-bhineka-an  bangsa Indonesia:
Ø  Intoleransi
Seperti saat akan makan buah nanas, kita masih harus menggarami toleransi yang pas agar perut dan lidah kita tidak terluka karenanya. Karena di sisi lain, dalam selubung gelap kepentingan politis dan hedonis, toleransi hanya sebagai penghalang atau beban yang harus disingkirkan untuk memantapkan dan memuluskan keambisiusan di setiap nilai transaksionalnya. Sebab, banyak pelaku meyakini bahwa jago yang tangguh adalah tanpa nurani. Sedangkan nurani adalah sumber atau inti dari pergerakan toleransi sebagai salah satu bagian karakteristiknya. Mati atau tidak sama sekali, toleransi akan ironis dan miris di antara cara seleksi alam dengan kekuatan dan kekuasaan.

Ø  Kesempatan-Kesempatan Yang Tidak Seimbang
Ketika seseorang merasa memperoleh kesempatan yang seimbang, peluang yang adil, maka akan mendorong orang tersebut mempertahankan kebersamaan. Sebaliknya apabila salah satu pihak merasa dalam posisi tertekan, lama-kelamaan akan melakukan pembatasan-pembatasan, dan hal ini dapat mengancam kadar hubungan nasionalisme. Kisah klasik Indonesia terkait kesempatan selama ini tak beda adanya dengan sistem feodal, di mana hanya pada kalangan, kelompok atau golongan tertentu (biasanya karena lingkup kepentingan orang-orang berpengaruh, elitisme atau konglomerasi ) yang sering dikucurkan hujan emas sebagai pembuat sekaligus penerima kesempatan. Sehingga terjadilah apa kata pepatah, “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”, seolah dunia hanya selebar daun kelor.

Ø  POP (Price of Political)
Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Apabila ingin menyampaikan pendapat, konfirmasi, atau respon, maka sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tidak melecehkan. Sebab, dengan nuansa POP atau harga politik yang semakin menggenaskan, bangsa Indonesia terjangkit gejalanya mencari-cari kesalahan dan kelemahan lawan politiknya menguras berbagai sikap positif yang tentunya sangat mempengaruhi kadar hubungan nasionalisme dalam menjaga kesabaran, perhatian, ketenangan, pengendalian diri, dan sopan-santun. Nuansa POP ini menjadi harga yang harus dibayar mahal oleh negara untuk menjadi sasana para generasi PeWe sebagai jagoan PITASAKA untuk saling menghancurkan kandang sendiri.

Ø  Sikap Menikung
Indonesia sesungguhnya banyak sekali pembalap berbakat yang tersembunyi, mereka suka sekali dengan tikungan sebagai puncak adrenalin kepuasan untuk menerobos dan melewatinya menuju HTW (Harta, Tahta, dan Wow...daging!). Sikap menikung sudah menjadi budaya bangsa Indonesia turun-temurun terutama yang mulai dari zaman kolonial hingga orde baru yang tertutup sebagai selubung jalan yang berbahaya bagi keimanan atau kemanusiaan dalam mengendarai kehidupan materil yang semakin hedonis ini. bahkan kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) kini sudah menjadi makanan harian rakyat Indonesia dari menu yang disajikan informan media massa sebagai kabar berita zaman now. Maka, pondasi pembangunan karakteristik generasi penerus bangsa sejak dini untuk jauh dari pengaruh KKN sangat dibutuhkan sebagai pilar kebenaran yang kokoh di masa depan.

Ø  Sikap ‘Terbuka’
Nah inilah salah satu hal yang masih tanda tanya pada kenyataannya setelah gerakan reformasi melanda Indonesia di tahun 1998 lalu. Di mana sikap terbuka adalah sikap untuk membuka diri, mengatakan tentang keadaan dirinya secara terbuka dan apa adanya. Nah, sekarang ada apanya coba... dari berbagai kasus KKN semakin terbuka diungkapkan dan kebebasan pers semakin meluapkan ekspresi ‘apa adanya’. Apakah dengan ini, keterbukaan dalam komunikasi sekalipun akan menghilangkan kesalahpahaman dan kecurangan? Keadaan seperti inilah ternyata juga menciptakan hubungan nasionalisme yang tidak baik. Justru keterbukaan ternyata hanya sebatas arus dalam kepentingan, dengan keakraban yang terjalin adalah menjadi hubungan hedonisme ditandai oleh sikap terbuka sebatas nuansa POP (Price of  Political) yang mana ‘kebon’ bisa dikondisikan para PeWe (Pitik Walik) beraksi membuka diri. Kemudian saling percaya akan keterbukaan secara transaksional menjadikan generasi PeWe dapat “secara total mengungkapkan segala sesuatu tanpa risiko”. Berarti sikap terbuka sesungguhnya yang diamanatkan reformasi 1998 sebagai bentuk demokrasi kini malah menjadi democrazy para generasi PeWe ini untuk makin eksis dan narsis berslogan “ pitik walik saba kebon” mencari-cari makanannya yang dapat membuat mahkluk lain bagai melihat dan mencicipi buah nanas dari ‘kebon’ mereka dengan nuansa POP yang kental.

Ø  Kepemilikan Informasi Untuk Kriminalitas
Sebagai kajian dari yang masih hangat dan klasik adalah pergerakan Saracen (penyebar ujaran kebencian). Para pelaku saracen informasi yang seharusnya sebagai penerangan manusia memperbaharui pengetahuannya justru malah menyisipkan unsur penyesatan dalam informasi untuk penggelapan manusia memperbaharui pengetahuannya. Sebab dan akibat dari para pelaku saracen dapat dilihat dari aspek “keluasan” dan “kedalaman”.  Dalam aspek “keluasan”, sangat efektif untuk memperbesar dampak munculnya PITASAKA (Pitik Tarung sak Kandang) untuk tersemat dengan keluasan generasi PeWe ini menunjukkan variasi topik yang dikomunikasikan. Sedangkan pada aspek “Kedalaman”, para generasi PeWe ini akan memainkan kedalaman menunjukkan keintiman apa yang dikomunikasikan untuk menyematkan PITASAKA, bahkan menyangkut persoalan pribadi.

Ø  Kesejajaran
Masih ingatkah anda akan pepatah,”Duduk sama rendah berdiri sama tinggi” dan “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” dengan hakikatnya tidak ada pihak yang lebih mendominasi terhadap pihak lain. Kesejajaran adalah perekat terpeliharanya hubungan nasionalisme yang harmonis, karena dalam kesejajaran itu akan dijunjung tinggi keadilan sebagaimana yang diamanahkan Pancasila dalam sila ke-5. Namun, hingga kini yang dijunjung tinggi bukan keadilan melainkan peradilan yang semakin arogansi panggung demokrasi untuk kesejajaran kekuasaan dan kekuatan menampilkan suguhan kebenaran. Maka, kesimpulan untuk semua golongan masyarakat sebagai suatu kesejajaran adalah di mana mereka sama-sama bisa disematkan PITASAKA untuk seleksi generasi penerus PeWe.

Ø  Kontrol Dan Pengawasan
Agar hubungan nasionalisme terjaga dengan baik, maka perlu pengawasan berupa kepedulian. Sebab, pada umumnya penurunan kadar hubungan nasionalisme terjadi bila masing-masing ingin berkuasa, atau tidak ada pihak yang mau mengalah, atau karena tidak pernah ada kesepakatan sehingga mudah terjadi salah paham. Dengan para generasi PeWe mengumbarkan nuansa POP dalam menyematkan PITASAKA inilah yang perlu kontrol dan pengawasan, karena selama ini justru merekalah yang melalukan kontrol dan pengawasan dalam kekuatan dan kekuasaan. Akibatnya perkara dalam negeri bukan lagi berkurang, justru malah semakin bertambah bak cendawan di musim hujan yang semakin subur mendapatkan ‘kebon’ mereka.

Ø  Aksi Dan Reaksi
Kedua hal inilah yang menjadi inti mengasyikan para generator PeWe  memainkan dunia PITASAKA mereka. Hukum alam mengatakan kalau ada aksi maka akan ada reaksi. Maka secara responsif, ketepatan dalam mengolah kedua hal ini untuk menjadikan tanggapan yang diinginkan para pelaku sangat dibutuhkan kelihaian dan kejelian melihat peluang. Jika pembicaraan yang serius ditanggapi dengan main-main, ungkapan wajah yang bersungguh-sungguh diterima dengan air muka yang menunjukan sikap tidak percaya, sikap meminta perhatian justru dibalas dengan sikap cuek dan acuh tak acuh, maka semua itu dapat mengancam penurunan kadar hubungan nasionalisme dengan respon yang tidak tepat. Dengan menjadi gagal fokus dalam beraksi dan bereaksi sangat dinantikan para pemesan PITASAKA untuk permainan politik yang biasanya akan berujung pada pembunuhan karakter. Dalam ‘kebon’ PeWe, suku dan bangsa sendiri ibarat mangsa terdekat yang gurih.

Ø  Suasana Emosional
Klimaks dari aksi dan reaksi dunia PITASAKA, jelas sekali bukan? Apalagi kalau bukan ledakan suasana emosional ketika komunikasi itu berlangsung maupun tidak, apalagi dengan adanya pertunjukan baper (bawa perasaan) dengan ekspresi yang sudah tidak relevan lagi. Dengan adanya perubahan suasana emosional, secara gamblang pun aksi dan reaksi akan menjadi sasana para generator PeWe (Pitik Walik) menyematkan PITASAKA (Pitik Tarung sak Kandang) dengan nuansa POP (Price of Political) yang kemudian menginjeksi karakteristik kepribadian bangsa dalam kecamuk racun vampir yang hedonis dan materialis.

Fenomena PITASAKA ini benar-benar sangat meresahkan dan menghambat kemajuan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan berbudi luhur. Hukum yang semakin timpang serta orang-orang awam yang mudah dipengaruhi menjadikan sasaran empuk untuk PITASAKA berkembang subur meregenerasi demikian pesat membenturkan karakteristik-karakteristik suku bangsa Indonesia untuk terkurung di antara suasana dalam negeri yang rancu dengan konflik internal bermuatan politik dan SARA. Keindahan dunia PITASAKA inilah, Indonesia sudah bukan seringkali lagi bahkan acapkali “gagal fokus”. Para generator PeWe hanya akan membawa rakyat dan negara Indonesia dalam nuansa POP yang terus memutarkan dan mengulangi PITASAKA sebagai suguhan fenomena perkembangan pembangunan di Indonesia. Semoga PEMILU yang akan datang menjadi perubahan yang baik bagi para paslon dan pemilih dari pengaruh fenomena PITASAKA ini. Sukses dan terus maju PEMILU Indonesia... untuk mendapatkan para pemimpin yang LUBER (Lugas, Ulet, Bakti, Empati, dan Rasional) bagai aliran air kehidupan yang mengaliri lahan-lahan kering yang benar-benar memberikan arti dan manfaatnya. Amin...

Frankincense (Yogyakarta, 11 April 2018)  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persepsi Introversi (bagian akhir)

CARA MENGEMBALIKAN SMARTPHONE ANDROID KE PENGATURAN AWAL (FACTORY RESET)