Kerusuhan Mei dan G30S, Hadiah Bom Waktu dari Dunia Teroris




Indonesia yang berwarna-warni aliran dan pemikiran, ada yang moderat, ada yang radikal, ada yang puritan, kemudian ada yang konservatif, modernis, liberal, sosialis, bahkan komunis, dan banyak lagi baik yang merupakan pengaruh dari luar maupun dalam negeri sendiri. 
Demi mempertahankan konsepsinya masing-masing maka keberagaman itu akhirnya menjadi suatu kelompok yang menjadikan wadah untuk menuangkan hasrat di antaranya adalah dengan memainkan kekuasaan dan kekuatan dalam menanamkan pengaruh aliran dan pemikiran secara ideologis yang fanatik. Dan peristiwa pemboman di WTC dan Pentagon, terorisme menjadi wujud yang semakin nyata dari persaingan tersebut.
Semenjak kemerdekaan Indonesia, berawal dari agresi militer Belanda banyak para fanatisme tersebut berusaha memanfaatkan keadaan genting dengan berbagai kepentingan dari penanaman pengaruh tersebut berusaha mengambil alih ideologi Pancasila yang pruralis. 
Pemberontakan PKI 1948, DI/TII, PRRI/PERMESTA dan lainnya adalah bagian awal dari skenario menumbuhkan kembali aksi terorisme dari baik selubung ideologis yang sebelumnya banyak berkembang di zaman feodalisme Eropa dan Occidental maupun Asia Oriental untuk menggerogoti pondasi yang sedang dibangun Indonesia oleh para rezim Orde Lama. 
Intifada untuk merongrong kepemimpinan pun tak luput dari aksi terorisme sebagaimana Soekarno pernah mendapat berbagai percobaan pembunuhan terkait dinamika politiknya baik di kancah internasional maupun nasional yang sangat besar pengaruhnya.
Dan akhirnya peristiwa G 30 S adalah hadiah sekaligus bom waktu yang di dapat rezim Soekarno dari dunia teroris. Secara misterius maka Indonesia pun memasuki pergantian rezim sejak runtuhnya pengaruh Soekarno dengan mendapati rezim orde baru yang juga tidak luput gerakan-gerakan rahasia terorisme yang menyelimuti perjalanannya selama tiga dasawarsa lebih sedikit. 
Maka untuk orde baru pun hadiahnya adalah Kerusuhan Mei yang kemudian menjadi bom waktu untuk melahirkan orde Reformasi hingga kini.
Dalam orde Reformasi pun seolah tak lebih dari kebebasan dunia teroris untuk semakin berkembang. Kenyataannya para pendorong gerakan teror di Indonesia seolah semakin pede menaman pengaruh untuk  kemungkinan besar memang berkaitan erat dengan gerakan-gerakan politik dan keagamaan di Timur Tengah. 
Jika ditelusuri dari muasalnya yang juga dibenarkan banyak pakar antiterorisme dunia, terorisme yang bibitnya dari radikalisme itu tumbuh jauh sebelum Indonesia merdeka. 
Di mana menurut saya coba jika kita lihat kembali sejarah mulai meningkatkan terorisme di Nusantara sejak lunturnya kharisma Jayabaya dari kerajaan Kediri dengan kemudian munculnya Ken Arok mendirikan Singasari melalui pertumpahan darah, kemudian hal itu semakin merebak ke seluruh Nusantara saat keruntuhan Majapahit dan semakin gencarnya kedatangan bangsa asing (terutama Eropa)yang juga menjejalkan pengaruh asing dengan hampir bebarengan menguatnya pengaruh Islam yang berdampak pada perubahan rezim kerajaan di Nusantara yang secara pragmatis merupakan produk impor dari ideologi asing, wahabisme, kemudian salafisme, hingga pada akhir abad ke-19.
Jika dari Eropa aksi terorisme semakin berkembang pada abad pertengahan yang kemudian meruntuhkan Kekaisaran Romawi, maka dari masa-masa jahiliyah di Timur Tengah ada yang kemudian terkenal muncul dari Rumah Kebijaksanaan yang merupakan sekolah untuk filsafat esoteris didirikan di Kairo oleh Ali dan putri Muhammad yang bernama Fatimah. Adalah Hassan-I Sabah yang muncul dari Rumah Kebijaksanaan saat itu ia mendirikan sekte dan dikenal sebagai lelaki tua dari gunung yang termashyur. 
Hassan mendirikan sebuah sekte kecil pada tahun 1090 Masehi merebut benteng Alamut di pegunungan selatan Laut Kaspia (masa kini di Iran). Dari benteng pegunungannya ia mengutus para agen rahasianya ke seluruh dunia untuk melakukan apa yang diperintahkannya, menggunakan suatu pengendalian penguasa boneka terhadap para penguasa yang jauh. 
Hassan kemudian membentuk kelompok Hashishin atau Assasin yang merupakan pembunuh yang sering menyusup ke dalam istana-istana dan pasukan-pasukan ( jika mengingat nama itu, entah secara kebetulan atau tidak di Indonesia saat itu juga "Assasins Cred" menjadi salah satu game digital yang terkenal selain "Prince of Persia" saat pemboman teroris semakin ramai). Dan siapa saja yang bahkan berpikir untuk tidak mematuhi Hassan akan ditemukan mati keesokan harinya.
Pandang Barat terhadap Hassan tidak syak lagi terdistorsi oleh sebuah bagian dalam catatan perjalanan Marco Polo. Ia mengklaim bahwa Lelaki Tua dari Gunung tersebut memberikan obat-obatan kepada para pengikut mudanya, yang membuat mereka tertidur selama tiga hari. Ketika terbangun, mereka mendapati diri mereka berada di sebuah taman indah yang mereka diberitahu adalah Surga. 
Mereka dikelilingi gadis-gadis cantik yang memainkan musik dan memberi mereka apapun yang mereka inginkan. Setelah tiga hari para pemuda itu dibuat tidur kembali. Ketika terbangun, mereka kembali di bawa ke hadapan Hassan untuk merasa yakin bahwa Lelaki Tua itu memiliki kekuatan untuk mengirim mereka kembali ke Surga sesuai keinginan. Jadi, ketika Hassan menginginkan seseorang terbunuh, para pembunuhnya akan melakukannya dengan sukarela, mengetahui bahwa Surga akan menjadi ganjaran pasti mereka. 
Hal ini pun kurang-lebih sama dari banyak kesimpulan yang didapat dari penyelidikan untuk cara yang banyak digunakan untuk merekrut dan mendoktrinasi para pengantin bom di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya, di mana mereka dijanjikan mati syahid serta mendapat pahala bidadari dan surga. Sebagaimana dalam Alquran dan Hadist disebutkan bahwa ruh orang yang syahid itu berada dalam tembolok burung hijau yang terbang di dalam jannah (surga).
Kemudian di tahun 1900-an pasca Perang Dunia II pun tidak lepas dari berbagai kepentingan untuk meregenerasi kembali kelompok semacam Assasin itu pada sepak terjang Abu Nadal yang bengis di kancah era Perang Dingin yang mengumbar maut sebagai algojo upahan dan bekerja atas pesanan-pesanan dinas rahasia asing. Abu Nidal pun kemudian menjadi target utama siapa pun, bahkan Amerika Serikat pernah menyebutnya sebagai musuh nomor satu negeri itu. Kematian sang pemimpin Abu Nidal pun hampir sama misteriusnya dengan kematian pemimpin kelompok Alqaeda yaitu Osama Bin Laden yang menjadi generator penerus. 
Dari berbagai kabar setelah berkelana melancarkan serangan teror dan pembunuhan di mana-mana, dia dikabarkan tewas pada 16 Agustus 2002 di Baghdad, Irak. Anak buahnya menyebut tewas bunuh diri karena putus asa melawan penyakit kanker yang menyerangnya. 
Namun para pemimpin senior Palestina di Ramallah, Tepi Barat, menyebut kematian sang teroris begitu misterius karena mereka mendapat laporan bahwa sebelum tewas Abu Nidal terkena tiga tembakan. Ada juga yang menyebutkan bahwa Abu Nidal dibunuh oleh aparat keamanan Irak atas perintah Saddam Husein terkait kiprah terselubung Abu Nidal dibalik peristiwa Perang Teluk dengan Kuwait pada tahun 1991.
Kembali kepada peristiwa G 30 S, di mana nuansa teror di sini adalah ketegangan politik dengan kebesaran isu kup Dewan Jendral. Hal ini semakin mendasari kekuatan dwi fungsi ABRI dalam politik dan militer yang semakin kental. Jika diawali dari vacum of power, perang gerilya, hingga pemberontakan seperti PKI 1948, PRRI/PERMESTA, hingga DII/TII pun adalah bagian dari aksi militer dengan latar belakang berbagai kepentingan yang didasari ambisi ideologis di mana ada pula yang termaterialisasi. 
Dengan menebar isu Dewan Jendral melalui media massa ini, si peneror bermaksud menguji kembali responsif militer setelah kemenangan pembebasan Irian Barat dan hendak menuntaskan konfrontasi dengan Malaysia. Dengan mulai menampakkan sendiri sisi politis dalam kemiliteran, peneror secara tidak langsung juga berusaha menggagalkan konsentrasi militer untuk serangan ke Malaysia dengan merobek celah NASAKOM.
Dari melihat perkembangan ambisi yang tersembunyi dari perjalanan militer sejak 1945 hingga saat itu 1965, seperti yang juga banyak terjadi di negara lain untuk mengamankan visi dan misi mereka di mana kediktatoran militansi pun menjadi hasil dari ajang perebutan pengaruh kekuatan dan kekuasaan. Dengan  pandangan secara formal dan legal mulai melihat dari dugaan keretakan internal dari AD, kemudian perkembangan PKI di Indonesia, dan kiprah nasionalis Bung Karno di dalam negeri dan di dunia Internasional yang turut mempengaruhi hasil perebutan digdaya para pelaku perang dingin pun akan menjadi bom waktu yang segera meledak. 
Dengan memanfaatkan sesi permainan ancaman teror isu dewan jendral, para kepentingan terselubung pun mulai berancang-ancang. Dengan pergerakan berseragam Cakrabirawa menjadikan pembuka peristiwa G 30 S dan kebingungan masyarakat yang tersesatkan mendapati berita yang berbeda dari RRI oleh pihak-pihak yang bersangkutan pun menentukan pemenangnya secara tidak langsung dalam pancingan mutahir untuk meruntuhkan kharisma dan melunturkan kepercayaan pada Bung Karno dengan para birokrasi-aparat terpecah pada persepsi dan ambisi masing-masing di balik sudut pandang kebenaran melakukan kebijakan atas rakyat.
Setali tiga uang, maksud NASAKOM untuk menyatukan pruralisme secara Pancasila dari berbagai ideologis yang semakin berkembang dalam keberagaman  pun menjadi bumerang untuk memecah-belahkannya. NASAKOM oleh para oknum pun justru menjadi ajang untuk membelah dan saling memperkuat pengaruhnya masing-masing. 
Dengan peristiwa G 30 S jelas membuktikan hal tersebut, kenasionalisan ala Soekarnois pun menjadi runtuh dan di balik keorganisasian agama dan militer yang terkontaminasi politik praktis pun menjadi hasil dari kebenaran yang memberantas, sedangkan Komunis yang saat itu cenderung memperhatikan kaum proletar seperti para buruh dan tani menjadi kambing hitam kemudian di anggap juga memprakarsai Bung Karno untuk membentuk angkatan ke 5 dan sangat ingin diruntuhkan para moderat kapitalis untuk mengibarkan imperialisme modern dalam modus liberalis. 
Apalagi kaum komunis di Indonesia saat itu merupakan yang terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan Cina. Ditambah lagi gerakan non-blok yang dicanangkan Bung Karno dan pemimpin lainnya yang mempersempit jarak dan pengaruh dunia materialistis untuk kembali meneruskan kejayaan revolusi industri pasca perang dunia karena biaya perang yang membengkak. 
Hasilnya cadangan emas yang dikatakan terbesar di dunia yang berada di Indonesia pun menjadi jaminan hasil peneror untuk semakin memegang kendali perekonomian dunia dari perputaran modal yang sudah semakin memperkaya mereka salah satunya dengan mendalangi secara terselubung berbagai peperangan di dunia hingga kini.
Dengan adanya Kerusuhan Mei 20 tahun yang lalu menjadikan semakin kuatnya dunia teroris dalam permodalan membangun sekaligus meruntuhkan apa yang mereka inginkan dari pembacaan zaman. Tak juga Alqaeda, ISIS pun menjadi bagian dari tameng keambisiusan dalam mengendalikan dunia dari berbagai kepentingan para generator kapital imperialis dalam sistem yang diperkuat semenjak zaman Knight Templar. 
Dari semua itu, Kerusuhan Mei meledakkan bom waktunya dari indikasi kehidupan orde baru yang semakin tidak demokratif dan semakin aristokratif. Belum lagi di Timur Tengah juga memperbaharui jaringan ninja mereka dengan kemunculan Alqaeda. Milienium ke dua masehi pun disambut dalam berbagai kejenuhan negara yang masih terkontradiktif oleh pengaruh asing yang memecah belah persatuan dan kesatuan suku dan bangsa di mana untuk sesuap nasi menjadi sesuap peluru.
Secara tak kasat perhatian, Kerusuhan Mei pun menjadi ajang penyusupan para pengembang jaringan teroris internasional untuk berkesempatan di euforia Reformasi. Dengan diawali serangan 11 September 2001, mulailah Indonesia juga mengawali Milenium baru dengan era baru yang dihiasi oleh ledakan bom. 
Secara umum, baik di negara mayoritas maupun minoritas, kaum miskin memiliki keluhan yang sama, yaitu merasa terpinggirkan dan ini membuat mereka rentan dari hasutan, provokasi kelompok ekstrem, serta kemudian menjadi masalah besar bagi pemerintah-pemerintah di kawasan terdampak terorisme tersebut pada era pasca-kolonialisme. Perasaan terpinggirkan ini pula yang memperkuat peran pengaruh kesektean sebagai perekat sekaligus media dalam mengekspresikan identitas mereka. Manifestasinya di antaranya adalah dengan mengenakan simbol-simbol dari jazirah tempat sekte-sekte berasal yang mereka anggap sebagai representasi dan kemurnian jiwa.
Serangan-serangan teror besar seperti Bom Bali dan Bom Marriot jelas ada kaitannya dengan jaringan terorisme internasional Alqaeda pimpinan Osama Bin Laden. Tidak heran masyarakat mengganggapnya sebagai pesanan asing untuk menghancurkan kestabilan domestik. 
Namun bila mempelajari sisi lain para pelaku teror lokal di Indonesia, maka faktor eksternal seperti Alqaeda atau ISIS hanyalah katalis untuk radikalisme dan ekstremisme di Indonesia mengingat bibit radikalisme itu sudah tumbuh dan bersemai lama di Indonesia dengan latar belakang perebutan kekuasaan seperti yang diramaikan sejak zaman Ken Arok dan keturunannya, kemudian keruntuhan Majapahit, kedatangan kolonial dan pengaruh Islam, hingga akhirnya sampai kini pada democrazy saracenisme yang semakin kebablasan.
Selain itu juga karena kepentingan sesaat seperti Pilkada dan Pilpres, elemen-elemen pemerintahan dan sistem kekuasaan kemudian berselingkuh dengan radikalisme tersebut, sehingga aksi-aksi teror terus saja terjadi dan upaya-upaya menetralisir tidak mencapai hasilnya. Dan pada saat bersamaan juga, era Reformasi semakin menggenaskan penglihatan korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela telah membuat sebagian orang kehilangan akses ke sistem kekuasaan politik dan ekonomi untuk kemudian beralih memberontak dan lalu pada tingkat ekstrem berusaha mengacaukan sistem secara keseluruhan dengan tindakan teror. 
Teror mereka ini, dari hari ke hari cukup berhasil menakut-nakuti masyarakat. Dengan itu, makna hari  Reformasi yang bersebelahan dengan hari kebangkitan nasional, sepertinya benar-benar membangkitkan reformasi jiwa terorisme dan nepotisme yang saling bersinkronisasi memperbaharui era atau zamannya beraksi.
Dengan itu, Indonesia pun sudah sejak lama dan menjadi semakin mengeras setelah munculnya kebangkitan Salafisme dan Wahabisme, selain mengalirnya uang serta ideologi keras dari Timur Tengah berbenturan dengan Ideologi kedas dari Barat yang membuat sel-sel teror di Indonesia dan seluruh dunia meluas bagai jejaring sosial media atau internet yang tak mungkin dipangkas dengan cara-cara kekerasan semata. 
Dengan sebagai contoh melihat pada uang dan ideologi keras dari Arab Saudi yang penguasa Saudi pun tak bisa menjinakkanya, telah membantu menyuburkan radikalisme karena aliran uang itu tidak lagi dibarengi oleh kemampuan negara dalam memonitornya. Dengan begitu, kearsitekan muslihat para penanam modal prahara itu bisa lebih ilusif dalam membangun jaringan terinfrastruktur dari beberapa ornamen melemahkan dan menjajah suatu negeri untuk membangun konstelasi The New World Order sebagai berikut:
  • Pertama, kaburkan sejarahnya;
  • Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya;
  • Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhur, dengan mengatakan jika leluhur itu bodoh dan primitif.
Dan di Indonesia, hal ini semakin krusial pada zaman kolonial hingga sekarang berdampak pada generasi milenium dalam keabu-abuan. 
Setidaknya pendekatan pemerintahan dan pihak terkait yang prural dan universal dalam membangun bangsa dan mensejahterakan rakyat dapat mengurangi dan terhindarkan masyarakat dari pengaruh ajaran ataupun doktrinasi radikal. Sebagaimana konsesus penyelesaian yang pernah diutarakan Perdana Menteri Malaysia,"Manakala terorisme tumbuh subur sebagai akibat dari ketidapuasan masyarakat dan persepsi masyarakat atas ketidakadilan, maka langkah hukum saja tidak akan efektif mengatasinya. 
Untuk berhasil mengalahkan terorisme kita tidak punya pilihan selain mengenali akar masalah dari terorisme. Masalah-masalah sosial yang berusaha ditunggangi kaum teroris untuk memobilisasi dukungan masyarakat, harus bisa diatasi. Itulah alasan perlunya reformasi, konsesi dan kompromi."
Karena itu, dari kepentingan reformasi; konsesi dan kompromi itu adalah kebutuhan sebuah rezim untuk mengelola sistem kekuasaan yang peduli pada keadilan, transparansi, dan kejujuran sehingga titik-titik letup emosi massa seperti birokrasi dan kekuasaan yang korup mungkin tidak muncul menjadi alasan bagi teroris untuk menggarap ketidakpuasan publik atas perilaku korup itu. sehingga, menyangkut konsensi dan kompromi adalah memberi tempat kepada masyrakat untuk sama-sama membangun sistem kekuasaan ekonomi, politik, dan budaya sehingga mereka menjadi peserta aktif pembangunan bukan lagi objek semata. 
Frankincense (Purwokerto, 12 Mei 2018)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persepsi Introversi (bagian akhir)

CARA MENGEMBALIKAN SMARTPHONE ANDROID KE PENGATURAN AWAL (FACTORY RESET)

PITASAKA – Pitik Tarung Sak Kandang