WICK (World in Create Kaleidoscopic)





Keyakinan dan prinsip mungkin selama ini  memang lebih mensejatikan diri individual para manusia. Akan tetapi jika untuk mengangkat kebenaran, seringkali semua hanya menjadi kritis. Sebagaimana ada siang ada juga malam, perbedaan akhirnya hanya menjadi racikan keindahan argumentasi pro dan kontra. Apalagi dokumenter kuno lebih bersifat sastra naratif yang sarat akan makna yang simbolis yang juga banyak sentuhan imajinatif makulat. Sedangkan dalam konsep dokumentatif  modern masa kini yang dimaktubkan adalah bersifat deskripsi yang konkret sebagai jalur pemahaman ilmiah yang materil, penjabaran pada kebudayaan logika yang didasari arus perkembangan zaman. Maka bisakah sekiranya, dalam satu inti atau pokok suatu hal yang sama menjadi terbeda-beda versial bisa menjadi satu kembali kesamaan pemahamannya? Hingga saat ini, sejarah awal perabadan di Bumi masih tersimpang-siur dan terus-menerus diperdebatkan. Dari berbagai hal yang akhirnya mulai tersubtitusi pada pengelompokan kesepahaman tertentu pada ilmu pengetahuan demi tercapainya keterpusatan sudut pandang yang hakiki. Di sini saya mencoba menggabungkan beberapa sumbu-sumbu yang ada terkait penciptaan Bumi yang terkesan berubah-ubah dan misterius.
Inilah “WICK”, sumbu dari berbagai jalinan sumbu yang mencoba menjadi nyala api yang satu dari berbagai perubahan oleh angin-angin nakal yang seringkali memperkecil atau memperbesar nyala api itu sendiri. Antara lain dengan mencoba keterkaitan imajinatif penggabungan paham literatur kuno dan ilmiah modern. “materi datang sebelum pikiran” atau “pikiran datang sebelum materi? Mana yang menurut anda lebih dulu hadir di awal alam semesta ini?

Awal mula
Nah, untuk tahap awal ini sebelumnya akan saya berikan gambaran dari beberapa kitab dan beberapa mitologi serta penjabaran ilmiah modern untuk sedikit imajinasi anda pada perbandingan dan persamaannya pada penelusuran ilmu pengetahuan kuno dan modern akan metode penciptaan bumi beserta segala isinya.
Mitologi dalam berbagai kebudayaan didasarkan pada kisah-kisah tentang misteri paling menarik di dunia, yaitu bagaimana alam semesta dan manusia diciptakan. Mitos berikut ini akan menjelaskan tentang bagaimana penciptaan itu terjadi, menurut kitab suci Quiche Maya, Popol Vuh; sebelum manusia, hewan, tumbuhan, pohon dan bebatuan diciptakan, tidak ada apapun kecuali langit di atas dan lautan di bawah. Bahkan cahaya dan suara belum ada. Yang ada hanya dewa-dewa yang disebut Para Pencipta yang hidup tersembunyi di bawah lapisan bulu berwarna hijau dan biru jauh di dasar lautan. Ini agak berbeda dari konsep mitologi lainnya yang kebanyakan menggambarkan para penciptanya berada dari langit atau angkasa luar. Dan juga mungkinkah dalam segi ranah kosmos ini dengan ilmu pengetahuan modern akan berkelindaan sebagai suatu simbolis pada suatu  perbedaan peranan kosmos dari langit dengan yang berada dari bawah atau dasar bumi yang nanti salah satunya membentuk periode Antedivilum yang bercirikan makhluk amphibian (dua habitat) berevolusi muncul dari antara kehidupan perairan dan daratan?
Kemudian pada mitologi Mesir yang antara lain dikemas dalam Buku kematian(Book of the Dead) diceritakan bahwa pada mulanya, hanya ada kekacauan, kegelapan dan kesunyian di seluruh jagat raya dan keabadian. Dengan penampangan lain adalah jurang tak berdasar yang berisi samudra hitam tak bertepi dan air mati yang ada sebagai makhluk hidup.  Di mana masyarakat Mesir memanggil ketiadaan ini sebagai “Nu” dan menyembahnya sebagai dewa. Siapapun memilih untuk memanggil kemuraman ini (Nu) dan meramalkan keadaan hampa, jauh di masa lampau, ketika sebuah kejadian dramatis dan menakjubkan mengubah ketiadaan menjadi keberadaan.
Ini adalah penciptaan Amun, yang pertama, Raja Para Dewa,  sang pencipta segalanya. Tidak ada dewa lain yang bisa menciptakannya. Karena tidak punya ayah dan ibu, Amun menciptakan dirinya sendiri dalam sebuah kegaiban, cara rahasia kosmos yang tidak pernah diketahui oleh manusia.
Dan pada mitologi Yunani sendiri di awali dari keberadaan Kronos dalam evolusi yang telah begitu lama terkantung-kantung dalam kegelapan dan kehampaan yang luas sekali.
Sedangkan pada mitologi Cina tertuju pada sosok tokoh bernama Panku yang dikisahkan sebagai seorang raksasa. Nah, dalam hal ini... yang menurut saya jika disamakan persepsinya dengan ilmu pengetahuan modern, ada pada “Teori Big Bang”. Di mana pada suatu ketika, dunia adalah pusaran kegelapan yang sangat besar. Tidak ada kayangan. Tidak ada bumi. Semua kekuatan di alam semesta terjerat dalam sebuah telur kecil berguling dan berputar dalam kekacauan di mana Panku kemudian lahir dan tumbuh menjadi raksasa. Lalu pada suatu hari, ketika alam semesta sudah benar-benar tidak stabil, Panku terbangun. Ia tidak melihat apapun di sekitarnya selain kegelapan dan kekacauan. Awalnya ia tertarik dengan ritme dunia yang tidak teratur. Ia melihat, terkagum-kagum dengan putaran partikel-partikel yang meledak dan berserakan di sekitarnya. Ia belajar dengan cepat untuk mengelak dari ledakan-ledakan gas dengan melompat gesit dari satu sisi ke sisi yang lain. Bisa jadi sebagai inspirasi untuk secara imajinatif jika dikaitkan dalam ilmu pengetahuan modern sebagai efek dari kemunculan energi halus yang lama-kelamaan membentuk bayangan material dengan secara perkembangan yang secara tidak beraturan seperti pada konsep Big Bang, hingga kemudian muncul keagungan energi lain yang ditakdirkan menguasai situasi itu sebagai pengatur kendali dan pengubah keadaan yaitu Panku, atau dalam teologi monoteisme modern sebagai Tuhan atau Allah.
Menurut Brian (2008) doktrin atau teori penciptaan alam semesta mempunyai persamaan antara agama-agama seperti Islam, Kristiani, dan Yahudi. Sementara agama-agama lain seperti Hindu dan Budha wujud jurang perbedaan yang menjadi hak eksklusif agama-agama ini mengikuti sudut pandang dan kepercayaan mengenai konsep Ketuhanan itu sendiri. Justru terdapatnya formula penciptaan yang berasaskan konsep creation ex nihilo, nihilo dan sebagainya yang bergantung pada asas kepercayaan utama sebuah agama yaitu Ketuhanan.
Dan penyederhanaan akan kepercayaan Sang Energi Agung itu dalam agama Islam sebagai suatu pusat eksistensi Ketuhanan yang esa, merujuk pada teosofis monoteisme (persujudan pada Sang Pencipta sebagai Tuhan yang tunggal atau Tuhan yang satu) Yahudi dan Nasrani yang diharfiahkan dalam konsep Tauhid, menuangkan formulanya di Al-Qur’an pada Surah Al-Ikhlas yang diungkapkan sebagai berikut:
“Dia-lah Allah (Tuhan), Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu, Dia tidak beranak, dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Surah Al-Ikhlas)
Pada Kitab Kejadian, dituliskan bahwa “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudra raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.”(Kejadian 1: 1-2)
Dan dalam kedua gambaran monoteisme ini dibandingkan dengan mitos-mitos tersebut yang terkesan lebih politeisme (Tuhan lebih dari satu atau jamak), sesungguhnya perbedaan hanya sudut pandang imajinatifnya saja. Di mana penamaan dan alur prosesinya berbeda, namun kesamaan tetap satu. Bahwa segala sesuatunya bermula kehampaan yang abstrak hingga munculnya keberadaan. Sebagaimana inti perwujudan seperti halnya kemunculan ‘Amun’ dalam mitologi Mesir dengan penjabaran ‘Dia’ dalam Surah Al-Ikhlas atau ‘Allah’ dalam Kitab Kejadian. Dan hal itu memang sesuatu misteri yang luhur, takdir yang mengubah dari keajaiban menuju mujizat yang agung.
Sedangkan dalam asas penciptaan dari agama Hindu berpaksi mempunyai dua paksi teori yaitu paksi penciptaan Tuhan sebagai pencipta dan paksi penciptaan alam semesta yang diciptakan oleh Brahma. Kebanyakannya menceritakan Brahman mengalami nasib kesunyian karena sekelilingnya diselubungi kosong(asat) (Nrusingh, 1991: 272). Pada awalnya kesemua kewujudan alam semesta dilahirkan sebagai Purusha yaitu prinsip kosmos yang bersifat jiwa, halus, dan tiada bentuk fisikal(idea).
 Dari pandangan umum Budha sendiri meniadakan campur tangan Tuhan, dengan sebab-akibat daripada suatu kuasa yang mengikat dan tidak gemar memperbincangkan pada teori kejadian alam semesta yang dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab Dhammapada alam dunia dianggap sebagai lokavaggo;
Mari, lihat dunia ini ibarat kereta kuda diraja yang dicat cantik dan indah,
Hanya orang yang bodoh sahaja yang  akan tenggelam dengan itu tetapi,
Bagi yang bijak tiada apa-apa sumbangan dari kereta kuda itu (dunia).
(Radhakrisnan, 1968: 118)

Akan tetapi, Crutcher (2000) melihat agama Budha mempunyai sistem pengkajian alam semesta dalam sudut pandang yang berlainan. Baginya, agama Budha telah mencapai satu tahap pengetahuan di mana alam semesta dilihat terlalu luas dan tidak meninggalkan apa-apa untuk dikaji, lalu mengambil pendekatan tidak perlu mengkaji alam semesta. Justru itu, matlamat agama Budha lebih menumpu pada melakukan reformasi kuasa yang menggerakkan alam semesta.
Dimaksudkan dengan mereformasi kuasa yang menggerakkan alam semesta adalah prinsip utama yang dipegang agama Budha tidak meletakkan Tuhan sebagai kuasa penggerak tetapi sebab dan akibat. Dengan kemungkinan, yang dimaksud kuasa penggerak itu adalah ‘Mara’ yang pernah menemui Sang Budha saat sedang dalam masa kelanjutan pertapaannya selama 6 tahun. Di sisi lain, Henokh yang merupakan keturunan generasi ketujuh Adam dan Hawa semenjak diusir dari taman Eden juga pernah menuju dunia Ilahiah selama 6 Yobel dari tahun-tahun saat itu.
Ilmu pengetahuan modern pun menjawab, khususnya dalam ranah Geologi (ilmu yang mempelajari bumi secara keseluruhan) akan berada pada awalnya di Zaman Arkaekum. Zaman ini merupakan zaman tertua, di mana masa awal pembentukan bumi dari inti sampai kulit bumi. Kondisi bumi saat itu belum stabil, dan memiliki udara yang sangat panas sehingga tidak memungkinkan adanya kehidupan. Batuan tertua tercatat berumur kira-kira 3,8 miliar tahun.Zaman Arkaekum berlangsung sekitar 2.500 juta tahun yang lalu. Pada zaman itu, bumi masih merupakan planet bola gas yang sangat panas, sehingga tidak memungkinkan terdapat mahkluk hidup.
Maka dari semua perbandingan hal tersebut jika ditarik analisisnya untuk persamaan adalah bahwa pada awal mulanya semesta ini berada pada ‘ketiadaan’ yang tertuju pada pengambaran suatu kegelapan dan kehampaan (seperti sekarang pada penampakan antariksa untuk angkasa luar dan saat pemandangan langit malam hari yang gelap tanpa cahaya bulan atau bintang), akan tetapi sesungguhnya ada suatu bentuk kosmos yang sangat tidak kentara di antara semua itu. Kegelapan dan kehampaan itu terdapat “Lautan Energi” yang tak kasat, sangat halus, abstrak, dan belum berbentuk padat atau materi. Dalam arti lain, mungkin maksud akal untuk mengatakan bahwa yang pertama kali terjadi lebih merupakan kejadian mental atau nirmateri daripada kejadian fisik atau materi. Dan pada suatu masa itu pun tidak ada waktu sama sekali. Jadi, dalam persejarahan ini, apa yang terjadi sebelum ada waktu? Jika dikaitkan dengan lautan energi itu, kejadian mental prima apa yang ada?
Kendatipun tiada materi, ruang, dan waktu pada awalnya, sesuatu harus terjadi untuk membuat yang lainnya bermula. Dengan kata lain, sesuatu harus terjadi sebelum ada apa-apa. Di sinilah peran kosmos lautan energi itu untuk saling berkelindaan hingga adanya suatu energi yang sangat agung yang menjadi pusat atau poros dari energi-energi lainnya. Dan energi agung inilah yang akan menjadi Sang Pencipta dalam ranah kemisteriusan(kerahasiaan) yang bersahaja dalam kosmos alam semesta. Kira-kira begitulah gambaran analoginya, atau bisakah mungkin dari contoh lain sehari-hari dalam hidup anda pernah mengatakan atau mengilhami kepada anda segalanya tentang asal-usul kosmos?
Dan mungkinlah ranah kosmos yang sudah semakin jauh logika ranah pemahamannya dan sudah harus ditinggalkan dalam dunia pikiran modern ini hanya membuat kita ada di perbatasan antara kuno dan modern, dualitas dimensional yang hanya akan membingungkan. Karena kini pada umumnya para pemikir kelas ataupun tokoh-tokoh materialis militan lainnya yang mengatur dan memelihara pandangan dunia ilmiah, “pikiran Tuhan” tidak lebih baik dari gagasan laki-laki tua berambut putih di atas awan. Ini kesalahan yang sama yang kata mereka dibuat oleh anak-anak dan suku-suku primitif. Mereka menduga pastilah Tuhan seperti mereka adalah sebagai antropomorfis yang keliru. Bahkan jika kita mengaku bahwa Tuhan mungkin memang ada, mereka berkata mengapa “Ia” harus seperti kita? Mengapa pikiran-“Nya” harus seperti pikiran kita? Dengan kata lain, satu-satunya mengapa pikiran Tuhan mungkin seperti pikiran kita adalah jika pikiran kita dibuat seperti pikiran-Nya yaitu jika Tuhan membuat kita dengan citra-Nya.
Maka inti evolusi dari lautan energi kosmos ini untuk perubahan alam semesta adalah dengan munculnya ‘pikiran’, sebagaimana kita manusia saat ini mendapati pikiran dalam merencanakan dan mewujudkan suatu hal. Dalam alam semesta ilmiah, pikiran adalah materi yang tak terduga, tidak penting, dan tidak ada hubungannya dengan materi. Gambaran lain, dari persamaan meditatif dan kabalistis kita akan dihadapkan pada sebuah kisah pencerminan diri. Lalu ranah imajinatif mengantarkan pikiran dengan membayangkan makhluk-makhluk sangat mirip dengan diri sendiri atau pun makhluk-makhluk bebas, kreatif yang mampu mencinta, sangat cerdas, dan berpikir dengan penuh kasih bahwa mereka mampu mengubah diri sendiri dan makhluk sejenis menjadi makhluk yang paling mendalam. Mereka bisa memperluas pikiran untuk merangkul totalitas kosmos, dan di kedalaman hati mereka bisa membedakan juga, rahasia-rahasia karya mereka yang paling halus.



Dengan ini pada tahap berikutnya adalah apa yang sering digambarkan dalam kitab-kitab ataupun mitos-mitos dengan kemunculan adanya ranah Surgawi yang tercipta dengan berbagai sebutan Ilahiah lautan energi ini menjadi dewa-dewi , malaikat-malaikat, ataupun jin-jin, setan dan iblis yang dalam pemahaman umum ilmu pengetahuan modern kita sebut sebagai “Roh”, dengan ini evolusi dari pikiran menjadi adanya untuk tercipta kemunculan ‘kesadaran’ yang membentuk roh-roh tersebut dan menjadi ‘jiwa’ alam semesta yang akan membangun perabadannya. Meski semua makhluk-mahkluk itu menjadi suatu ‘kehidupan’ yang saat ini katakanlah di balik cadar ilusi merupakan bagian dari hierarki endapan dari pikiran Sang Pencipta, di mana beberapa memperlihatkan ambivalensi moral yang mengganggu. Inilah pertentangan yang akan menjadi garis balik kosmos dan kelanjutan sejarahnya, sebagaimana secara ilmiah kita telah mendapatkan unsur Proton (+) dan Elektron (-) dalam konflik kosmos pada dualitas perkembangan kesadaran ‘pikiran’ yang berbeda itu menjadi cikal-bakal keberadaan manusia di Bumi. Dan tanpa hikmah dari semua itu, mungkin kehidupan manusia sampai yang ada sekarang ini, belum tentu akan ada. Karena kemungkinan besar peran Manusia hadir sebagai ‘Neutron’ untuk ionisasi kehidupan alam semesta yang berkelindaan, cenderung Proton atau Elektron. Ke mana pikiran untuk Kesadaran jiwa versus Kesadaran Fisik, yang mana akan jadi sebab dan akibat dari lingkaran kehidupan di jagat raya-alam semesta ini.
Dengan asal-mula itu pula kita akan dihadapkan pada suatu rahasia, dengan rahasia ini jawaban atas apa yang telah terjadi, yang sekarang terjadi dan yang akan terjadi. Di mana kita hidup dalam satu kuasa agung. Dan dari perpecahan kosmos menjadi unsur positif dan negatif, kita memandu hidup kita dengan satu hukum yang sama;”Hukum Alam Semesta... begitu tepat dalam hal awal mula kreasi atau penciptaan dari perwujudan akan kemauan atau keinginan dari imajinasi-intuitif yang akan membangun jaringan kosmos benang merah kehidupan kita dengan apa yang dinamakan “ketertarikan”. Dan jika alam semesta ini adalah Lautan Energi, maka semua ini adalah Permainan Energi... Proton(+) dan Elektron(-) seperti dalam  konsep partikel atom mempengaruhi ionisasi wujud unsur ataupun senyawa, yaitu ‘takdir alam semesta’.

Prosesi 1
Dengan awal mula terbentuk suatu evolusi dari kosmos ke dalam bentuk “Jiwa” yang memiliki kesadaran pikiran, maka dengan itu pula menjadikan keberadaan ini terjadi dengan apa yang di namakan sebagai Proses. Dan dalam proses, secara ilmiah kita akan dihadapkan dengan yang namanya waktu. Karena dalam logika manusia modern kita akan selalu dikaitkan dengan waktu dalam suatu proses untuk mensubtitusikan suatu masa-masa yang dilewati demi adanya suatu proses tersebut. Dan hal ini pulalah yang menjadi kesenjangan hakiki dalam mengungkap penelusuran yang ada secara ilmiah. Akan tetapi jika disatukan kesepahaman ilmiah yang perlu diingat adalah bahwa dalam bidang tertentu ada artian perhitungan “hari” yang tidak biasa dari yang biasa. Seperti secara astronomis mendapatkan perasaannya saat berada di ruang hampa udara di luar angkasa dengan di bumi, atau yang kita dapati saat menonton siaran bola liga Italia di tengah malam yang mana di sana hari masih siang. Nah, karena perbedaan waktu inilah yang sering mengecohkan kita pada kesenjangan analogi kehakikian. Waktu hanyalah ukuran atau perkiraan untuk perubahan posisi benda-benda di alam raya, dan, yang diketahui para ilmuwan, mistisme atau orang gila sekalipun, untuk pada masa perlu tidak ada benda di alam raya.Misal, dalam evolusi atau pergerakan bumi berputar mengelilingi matahari adalah satu tahun sebagai satu ukurannya. Satu hari adalah ulangan putaran atau rotasi bumi pada porosnya. Karena para penulis Alkitab tidak pernah berniat mengatakan bahwa perwaktuannya seperti “waktu” biasa pada dunia ilmiah modern. Maka, berikut acuan untuk pendekatan analoginya. Akan tetapi, di sini lebih diarahkan dulu pada proses bumi dan segala isinya. Sementara prosesi manusia lebih dibahas pada bab berikutnya.
Dalam Mitologi Aztec dan Maya, para pencipta merasa letih karena terus menerus hidup dalam kegelapan dan kesuraman dibawah banyak lapisan. Jadi suatu hari mereka bersatu dan berencana mengisi kosmos yang kosong dan luas. Mereka meneriakkan kata-kata, “Biarkan penciptaan dimulai! Biarkan kehampaan diisi! Biarkan lautan surut, menampakkan permukaan bumi! Bumi, bangkitlah! Biarkan semua terwujud!”
Begitulah terciptanya bumi, dengan perbukitan, sungai-sungai, danau-danau dan pepohonan yang muncul dari dasar laut. Pada awalnya, para pencipta terpesona dengan gugusan perbukitan, arus sungai, dan pepohonan cemara. Meskipun dunia baru tersebut sangat indah, namun dunia itu sangat sepi. Maka, para pencipta menggunakan kemampuan mereka untuk menciptakan hewan seperti rusa dan burung.
Kemudian para pencipta memerintahkan, “Kau rusa, tinggallah di sepanjang sungai dan ngarai. Datangi padang rumput, semak belukar, dan hutan belantara. Beranak pinaklah, kau akan berdiri dan berjalan dengan empat kaki.”
“Kau burung yang indah, sarangmu ada di pepohonan dan semak belukar. Beranak pinaklah dan menyebarlah di sana. Di dahan-dahan pohon  dan sela-sela semak belukar.”
Para pencipta sangat senang dengan adanya hewan-hewan, namun mereka masih punya masalah. Para dewa ingin dipuji atas usaha mereka yang luar biasa dan dipuja oleh semua ciptaannya. Binatang bisa berkoak, mendengking, dan menghasilkan bunyi tanpa makna, tapi mereka tidak mampu berkata-kata untuk memuji ciptaan para dewa. Para pencipta menjadi kecewa dengan keterbatasan ciptaan mereka. Kemudian para dewa berkata:
“Kami tidak akan mencabut apapun yang telah kami berikan kepada kalian. Karena kalian tidak bisa memuja dan mencintai kami, kami akan menciptakan makhluk yang bisa melakukannya. Makhluk baru ini akan lebih unggul dari kalian dan bisa menguasai kalian. Itulah takdir kalian, mereka akan mencabik dan memakan daging kalian. Biarlah semua itu terjadi!”
Para pencipta kemudian menciptakan golongan makhluk yang lebih unggul dari hewan. Makhluk ini adalah suku Maya yang mampu bicara. Namun, pekerjaan itu tidaklah mudah. Dengan ini jika dikaitkan pada ilmu pengetahuan modern paling tidak hampir sejalan dengan penciptaan di mulai dari unsur-unsur pembentuk dasar dan permukaan bumi kemudian baru dimunculkan organisme kehidupan seperti tumbuhan dan hewan, dan terakhir jenis manusia sebagai kunci penutupnya. Dan jika secara teologis, kode ‘pencipta’ di sini menyiratkan pesan pada peranan jamak ‘pelaku’ penciptaan. Kesan ini menjadi cenderung pada sudut pandang politeisme dengan sosok Ketuhanan lebih dari satu.
Sementara pada Mitologi Mesir, dari ketiadaan (Nu) dengan kemudian muncul keberadaan (Amun) yang menjadi tokoh utama proses penciptaan dari kedelapan dewa pertama(Nu, Naunet, Hey, Hauhet, Kek, Kauket, Amun, Amaunet) yang disucikan di Hermopolis. Maka keberadaan ini (Amun), memulai proses penciptaan mahkluk dewata lainnya terlebih dahulu dengan tujuh dewa yang tergabung dalam anggota Ogdoad serta dengan tanah purba (tanah kering pertama) yang ia lanjutkan dengan menciptakan Ennead, kelompok sembilan dewa (Atum, Shu, Tefnut, Geb, Nut, Osiris, Seth, Isis dan Nephthys) yang disucikan di Heliopolis dan Memphis. Amun juga menciptakan Khnum, dewa berkepala kambing, ruh, dan iblis yang mendiami langit, bumi, dan dunia bawah.
Setelah melakukan penciptaan berat ini, Amun naik ke langit dan berubah menjadi matahari yang memberi kehidupan (oleh karenanya ia sering dipanggil Amun-Ra atau Dewa Matahari). Ketika ia menengok ke bawah, fase baru dari penciptaan telah dimulai, yaitu bumi di mana manusia akan tinggal. Untuk menyempurnakan tugas tersebut, Amun memilih Khnum yang di mana kedua sosok ini menjadi dualitas Dewa Takdir oleh masyarakat Mesir. Sementara Amun mengawasi takdir alam semesta, takdir yang yang diawasi oleh Khnum adalah bangsa manusia. Dan atas seijin Amun ia menciptakan manusia pertama di roda tembikarnya yang hebat.
Ciptaan baru Knum ini membutuhkan tempat untuk hidup. Dengan bantuan Amun di atas, Khnum menggulung air kegelapan di sekitar tanah purba hingga menguak tanah kering. Di tempat baru ini ia membantu manusia pertama membangun kota pertama. Sebagian besar kota-kota itu dibangun seperti Thebes suci. Khnum juga mendiami lahan pertama ini yang kemudian dikenal dengan Mesir, dengan semua binatang, mulai dari burung, ikan, buaya, dan kumbang. Kemudian ia membuat pohon, tanaman, dan tumbuhan-tumbuhan lain yang tumbuh melimpah ruah di permukaan bumi. Pada masa itu, ketika manusia memiliki anak-anak dan berkembang biak, lahan lain yang kosong pun mulai ditinggali. Namun Mesir tetap menajadi pusat dunia yang diciptakan oleh Amun dan dewa-dewa lainnya yang juga diciptakan oleh Amun. Jika dikaitkan dengan mitologi Aztec dan Maya sebelumnya, ini menjadi sedikit berbeda di mana pada mitologi Mesir kemunculan manusia belum didukung kesiapan alam buminya untuk menjalani kehidupan, dengan kemunculan bentuk alam beserta organismenya serta tumbuhan dan hewan justru sesudah manusia pertama diciptakan.

Kini sejenak beralih pada mitologi Cina, di mana Panku mulai kelelahan dengan semua keributan dan kekacauan di sekitarnya terus-menerus yang membuat syarafnya tegang. Hiruk-pikuk itu membuat telinganya berdenging, dan itu membuatnya sangat cepat marah. Semakin lama ia melihat kekacauan itu semakin ia merindukan kedamaian tidurnya yang nyenyak.  Kekacauan itu mengganggunya, namun yang lebih penting, Panku tahu bahwa tempurung alam semesta ini bisa pecah kapan saja.
Panku tahu ia harus bertindak; ia menunggu hingga dunia tenang dan merebut sebuah meteor yang panjang. Ia melempar sebuah kapak dan mengayunkannya turun dengan segenap kekuatannya. Kapak itu tepat mengenai pusat telur dan meledak sangat dahsyat. Suara dentuman bergema ke seluruh penjuru dunia dan merobek semua partikel dan gas yang ada di alam semesta menjadi dua bagian. Cahaya, kekuatan murni dunia,  mengapung dan membentuk awan biru. Kejahatan, kekuatan gelap dari alam semesta tenggelam dan membentuk tanah yang subur.
Panku sangat gembira dengan dunia barunya. Dunia itu menjadi indah, tentram dan damai. Untuk memelihara keadaan itu, ia menopang langit dengan lengannya yang kuat, menjepit tubuhnya antara kayangan dan bumi. Setiap hari langit tumbuh tinggi, dan Panku pun menopangnya dengan semakin tinggi.  Selama ribuan tahun, ia menyangga kayangan tanpa mengeluh, memutuskan bahwa dunia tidak boleh kembali pada kekacauan.
Seiring waktu berlalu, ia pun letih, sedangkan kumisnya menjejali dunia. Selama berabad-abad, Panku mendorong dengan setiap sendi, kumis, dan tulang yang kesakitan. Ia berteriak minta tolong, tapi suaranya hanya bergema dalam kesunyian. Tak ada mahkluk lain yang tinggal disekitarnya. Setiap hari ia menunggu pertolongan, namun setiap hari juga ia tidak mendapatkan apapun. Ia berjuang selama puluhan ribu tahun hingga kayangan dan dunia tak saling mengingat lagi, dan keduanya terpisah menjadi kekuatan yin (kegelapan) dan yang (cahaya).
Ketika langit sudah sangat dekat dengan kayangan, dan dunia jatuh dengan keras, Panku akhirnya kehilangan keteguhannya. Perlahan ia menjadi lemah dan tua. Tubuhnya berangsur-angsur keriput dan menyusut.  Kumisnya mulai rontok, dan nafasnya tersenggal-senggal. Setelah berabad-abad memulur dan menegang, raksasa yang handal ini jatuh ke tanah, lelah dan kehausan.
Tubuhnya yang besar dan layu itu menutupi bumi dengan rapat seperti karpet. Dagingnya remuk dan menyebaran kesuburan dan bau manis tanah di tanah yang gersang. Titik-titik keringatnya menjadi titik-titik hujan dan embun di tanah yang lembut dan subur. Rambut dan jenggotnya menjadi ranting pohon dan semak-semak yang keras. Rambut di lengannya menjadi dedaunan, tumbuhan merambat dan bunga yang lembut. Gigi dan tulang-belulangnya patah menjadi logam yang bersinar; emas, perak, dan tembaga yang masuk ke dalam tanah. Tulang sumsumnya mengeras dan berwarna krem, permata transparan yang berwarna ungu, hijau, dan putih. Darahnya menetes mengaliri tanah menjadi genangan yang luas dan sungai yang deras. Suaranya, meski lemah, menciptakan guntur yang bergemuruh dan halilintar yang merintih. Nafas kematiannya membentuk angin yang bertiup dan awan yang mengembung. Akhirnya, terbebaskan dari penderitaannya, air mata Panku dari tangis syukurnya jatuh berkilauan, menjadi air yang banyak yang menjadikan lautan.
Akhirnya tugas Panku selesai, dan Panku, sang pencipta telah mati. Di tempatnya, ia meninggalkan dunia yang berkilauan dan bersinar dengan percikan warna biru cerah, hijau ceria, coklat kehitam-hitaman, dan jernih; air dingin yang gemericik. Di sini Panku benar-benar sebagai sosok tunggal dalam penciptaan alam semesta secara jasad raksasa sebagai peracik bumi, dengan diakhiri berkah kematiannya secara jasad dan kembali menjadi energi roh yang halus. Dengan ilmu modern pada teori Big Bang pun diawali dari perwujudan materil raksasa yang saling bertubrukan kemudian menjadi serpihan halus yang membentuk pemandangan alam semesta baru di sekelilingnya. Ini berarti malah seharusnya lebih menyaingi kebesaran mitos Atlas yang menyangga bumi dan dijadikan inspirasi penamaan jilid kumpulan peta-peta dunia, karena di sini Panku berperan ganda dengan tak hanya sebagai penyangga dunia tapi juga penciptanya dunia. Salonpas-nya pun harus khusus ini, untuk mengobati pegel linu-nya mungkin lebih maknyus pake koyo cabe ya...?
Nah, yang cukup menarik juga dari Agama Hindu dari persamaan pada konsep kisah penciptaan Panku dari Mitologi Cina, adanya kemiripan pada salah satu versi prosesnya yaitu “telur kosmos”. Dalam versi ini, diceritakan bahwa munculah suatu telur yang terbentuk di kesunyian yang diselubungi kekosongan dengan Brahma berkeadaan duduk (bermeditasi) selama 1 tahun Ketuhanan (bersamaan 3110.4 milyar tahun manusia). Bermulanya penciptaan Brahma, maka bermula juga segala aktifitas penciptaan alam semesta, Dia adalah Sebab Efisien semua penghasilan segala kewujudan di alam semesta (Nrusingh, 1991: 273-274).
Seterusnya Brahma sekali lagi bermeditasi di dalam telur kosmos selama beberapa tahun Ketuhanan, lalu membagikan telur  ini kepada dua bagian yaitu kerajaan langit dan kerajaan bumi yang mana diciptakan langit dunia sebagai pemisah kedua-dua kerajaan ini. Proses kejadian Tuhan adalah asas teori kejadian alam agama Hindu yang seterusnya menciptakan penciptaan awal alam semesta mengikuti kehendak Brahma (Shivendra 2008). Dengan berikutnya dalam kitab Brihad-Arayanka Uphanisad (1.4.6):
Kemudian Dia (Brahma) menggosok dan daripada mulutnya terjadi percikan api (yoni) dan gosokan di tangannya tadi menjadi api (agni). Lalu apa-apa yang bersifat kelembaban suhu, Dia menjadikan air mani dan itu adalah Soma, yaitu makanan dan pemakan makanan. Oleh yang demikian, Brahma adalah pencipta yang berkuasa dengan menciptakan dewa-dewa, pembantunya. Sesungguhnya Dia mengetahui apa yang perlu diciptakan dalam tugasnya sebagai pencipta alam semesta.
 (Anandtirtha 1916: 70)
Seterusnya dalam kitab yang sama (3.7.3), menyifatkan Brahma bukan saja Tuhan yang menjadikan tetapi Dia juga entiti yang dianggap Pengawal Dalaman (Inner Controler) atau Jiva. Sifat ini adalah sifat sinonim kepada sifat Brahma yang akan menyerapi setiap elemen alam semesta apabila segala-galanya sudah lengkap diciptakan. Brahma adalah Pengawal Dalaman setiap makhluk di alam semesta, yaitu:
Dia yang menetap di dalam tanah ini, Dia bukan berasal dari unsur tanah, siapa yang tidak mengenal Dia, siapa yang mengawal dan mengatur tingkah laku yang berada dalam unsur tanah ini. Ia adalah Jiwa kamu, Pengawal Dalaman dan Dia adalah kekal abadi (Anandtirtha 1916: 115).
Justru itu kefahaman panteisme sebagian dari sifat dan zat Brahma. Sebagaimana Brahman telah memindah kerahmatan dan kuasa penciptaan kepada Brahma, begitu juga Brahma menyerahkan tanggung jawab untuk menjalankan dan menggerakkan penciptaan alam semesta kepada satu kuasa Ketuhanan yang lain dan sebagian zat Brahma itu sendiri, yaitu Maya.
Peranan Maya dalam asas teori ini karena anggapan agama Hindu terhadap Brahma hanya sebagai pencetus alam semesta yang memiliki kehendak. Analoginya seorang pengrajin gerabah. Peranan Brahma hanya sebagai minda, mandat, dan kehendak untuk tukang pembuatnya (Maya) yang mau menghasilkan gerabah, manakala Maya sebagai penerima dan pelaksana pesanannya. Dalam kitab Bhagavad Gita sendiri menceritakan Maya sebagai:
Untuk semua ini adalah kuasa kreatif, Aku yang menghasilkan semua juzuk alam semesta, Ketuhanan dan ia sesuatu yang sukar untuk dijangkau sama sekali. Sesiapa takut mempercayai Aku seorang, seharusnya diletakkan kepada kuasa Aku yang luar biasa (Maya).
(Zahner, 1969: 14)
Dengan berarti Maya merupakan kuasa penggerak alam semesta yang wujud dalam bentuk halus (subtle form), tidak berbentuk (formless) tetapi mutlak. Maya memiliki persamaan dengan Brahma yaitu abadi dan tidak berbentuk, namun Maya dikategorikan sebagai entiti yang tiada kehidupan (lifeless). Maya hanya sekedar kuasa dan tenaga yang bertindak untuk menggerakkan penciptaan alam semesta, tiada jasad dan tiada makan. Brahma mempunyai kehendak dan pemikiran yang mahu menjadikan alam semesta. Maya adalah tenaga yang menjadikan dan merealisasi proses kejadian alam semesta. Ia tidak tertakluk kepada proses penciptaan saja, bahkan meliputi aktifitas penjagaan dan kemusnahan alam semesta. Setiap makhluk sama ada yang mempunyai kehendak atau tidak, akan tertakluk pada batasan ruang dan masa. Jiwa (roh) sifatnya abadi walaupun jasad menjadi rusak. Kehidupan adalah hasil daripada perasaan mengenai kewujudan ‘Saya’ (Tuhan). Kehidupan akan memberi perasaan mengenai ‘Saya’ (Tuhan), perasaan ini tiada wujud dalam Maya dan disebabkan itu Maya dianggap  lifeless (Swami Prakashanand, 2001: 445).
Peranan Maya pada mula wujud sejurus selepas Brahma berkehendak untuk menjadikan. Permulaan penciptaan alam semesta digelar sebagai penciptaan atau emanasi (srsti) dan puncaknya dari siklus kepada alam semesta adalah kehancuran (pralaya). Penciptaan dan kehancuran alam semesta adalah hasil tuntutan tugas bagi Maya. Walaupun kekuasaannya boleh disalahartikan sebagai Tuhan, tetapi Maya tidak dianggap sebagai Tuhan karena ia sekedar sebagian sifat dan zat Brahma serta Maya hanya sekedar tenaga yang menggerakkan alam semesta. Walaupun proses menggerakkan alam semesta terletak di bawah kekuasaan Maya namun segala perjalanan dan pergerakan alam semesta masih tertakluk kepada kehendak Brahma dan Maya tidak boleh membuat sesuatu luar dari kehendak Brahma. Sebagaimana yang telah dijelaskan, sesuatu yang tiada minda dan kehidupan seperti Maya adalah entiti yang tidak mungkin dan tidak boleh untuk merusak sistem ini (Nrusingh, 1991: 281).
Maya tidak akan wujud tanpa kualiti di dalamnya, kualiti atau sifat yang dimaksudkan adalah sattva, raja, dan  tama yang digelar sebagai rantaian Guna (Zaehner, 1969: 15). Agama Hindu mempercayai tiada mahkluk atau kewujudan yang akan dapat terkeluarkan daripada interaksi hubungan sattva, raja, dan  tama. Hubungan ketiga kualiti ini seperti positif (sattva), negatif (tama), dan neutral (raja), lelaki, perempuan, dan khunsa, hidup, mati dan kelahiran semula (inkarnasi ataupun reinkarnasi). Ketiga kualiti ini tersemat dan seimbang di dalam Maya dan menyeimbangkan hubungan yang berlaku dalam alam semesta (Swami Prakashanand, 2001: 148). Dalam kitab Bhagavatam menyatakan peranan yang berkenaan dengan Guna, yaitu:
Narada!, kamu lihat ketiga-tiga kualiti ini tiada akan bergerak secara sendirian dan tiada yang mampu membebaskan diri dari ketiga-tiga kualiti ini. Mereka akan kekal berdua (sattva dan tama) atau bertiga (dengan raja). sattva  tidak akan pernah wujud tanpa raja; raja tidak akan wujud tanpa tama; dan kedua-dua kualiti tidak akan wujud tanpa tama. Begitu juga tama tidak akan wujud tanpa sattva dan raja. Ketiga-tiga kualiti ini akan kekal bertindak secara bersama-sama (buku tiga, bab 8, 42-44: 149).

 Sebagaimana juga dalam ilmu pengetahuan masa kini, seperti dalam kimiawi modern juga ada pada sifat-sifat atomnya; Proton (+), Elektron (-), dan Neutral yang kemudian saling berkesinambungan terionisasi membentuk berbagai unsur atau senyawa dari besar-kecilnya pengaruh kualiti di dalamnya. Dan jika dalam pemahaman yang lain, Maya adalah peranan dari para malaikat yang membantu Allah dan mengemban prosesi penciptaan alam semesta. Seperti yang ada pada Kitab Kejadian 1 pada ayat 26, di mana sang penulis menyimboliskannya dalam artian pemakaian kata ‘Kita’. Maka, kini kita akan beralih pada Kitab Kejadian, di mana Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya (Kejadian 1: 3-31) dan (Kejadian 2: 1-4):
3 Berfirmanlah Allah: “jadilah terang.” Lalu terang itu jadi. 4 Allah melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nya-lah terang itu dari gelap. 5 Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.
6 Berfirmanlah Allah: “Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air.” 7 Maka Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah cakrawala itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian. 8 Lalu Allah menamai cakrawala itu langit. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kedua.
9  Berfirmanlah Allah: “Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering.” Dan jadilah demikian. 10 Lalu Allah menamai yang kering itu darat, dan kumpulan air itu dinamai-Nya laut. Allah melihat bahwa semua itu baik.
11 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuhan-tumbuhan di bumi.” Dan jadilah demikian. 12 Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. 13 Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ketiga.
14 Berfirmanlah Allah: “Jadilah benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun, 15 dan sebagai pada penerang pada cakrawala biarlah benda-benda itu menerangi bumi.” Dan jadilah demikian. 16 Maka Allah menjadikan kedua benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam, dan menjadikan juga bintang-bintang. 17 Allah menaruh semuanya itu di cakrawala untuk menerangi bumi, 18 Dan untuk menguasai siang dan malam, dan untuk memisahkan terang dari gelap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. 19 Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keempat.
20 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup, dan hendaklah burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala.” 21 Maka Allah menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. 22 Lalu Allah memberkati semuanya itu, firman-Nya: “Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak.” 23 Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kelima.
24 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata dan segala jenis binatang liar.” Dan jadilah demikian. 25 Allah menjadikan segala jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis binatang melata di muka bumi. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.
26 Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” 27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan takhlukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
29 Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. 30 Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Ku-berikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” Dan jadilah demikian. 31 Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.
2 (1) Demikianlah diselesaikan langit dan bumi dan segala isinya. 2 (2) Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah di buat-Nya itu. 2 (3) Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala penciptaan. Yang telah dibuat-Nya itu. 2 (4) Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan.
Semua prosesi hal ini pun sejalan dengan mitologi Aztec dan Maya serta ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi ada perbedaan makna simbolis tersembunyi darimana manusia sebagai kunci penutupnya (di bahas pada penulisan “NAFAS”, Noah Ark from Atlantis). Serta di sini tokoh ‘pencipta’ lebih terhierarki seperti Agama Hindu pada sosok Brahma dan Maya, dengan di sini Allah sebagai tokoh utama dan Kita (para malaikat) sebagai pendukungnya.
 Nah, jika Kitab Kejadian menjelaskan hal-hal 6 hari utamanya proses penciptaan bumi beserta isinya dengan 1 hari yang lain (hari ke-7) sebagai pengkudusan-Nya, maka dari agama Budha sendiri yang lebih memahami bahwa prosesi terjadinya dunia adalah lebih kepada sebab dan akibat (patticasamupadda). Dan ternyata, hal ini juga dijabarkan dalam 6 hal sebagai proses-prosesnya, di mana Akira (1990: 179-181) telah membuat enam klasifikasi potensi sebab dan akibat, yaitu:
Ø  Karanahetu adalah sebab yang menjadi kewujudan yang lain yaitu merujuk kepada sebab yang penting. Dengan kata lain, semua dharma membantu dalam menghasilkan dharma yang lain.
Ø  Sahabhuhetu atau penyebab serentak adalah dharma yang berkhidmat secara serentak menjadi sebab dan akibat, bergantung dan bergabung antara satu dan yang lainnya. Seperti tanah, air, api, dan angin secara serentaknya muncul dalam molekul dan menghasilkan tenaga atau fenomena.
Ø  Sabhagahetu atau penyebab sama. Biji benih padi hanya akan menghasilkan tunas padi dan tidak mungkin menghasilkan tunas durian.
Ø  Sampryuktakahetu atau penyebab yang seiring (concomitant cuase) adalah deskriptif hubungan yang seiring antara minda (citta) dan fakulti mental (caitasika) atau otak. Kategori ini dilihat sebagai fasiliti mesti sama untuk menghasilkan natijah yang harmoni. Kereta tugasnya adalah membawa pemandu, tetapi pemandu mau menggunakan kereta untuk mengadun kek. Maka wujud kesan yang bercelaru dan tidak seimbang.
Ø  Sarvatragahetu yaitu alam semesta tidak semestinya bersifat harmoni dan seimbang, kuasa dan kekacauan juga boleh menjana sebab dan akibat, tetapi dalam bentuk keburukan. Sebagai contoh fenomena bencana alam semesta, agama Budha melihat sebab kejadian bencana adalah karena adanya kekotoran moral manusia yang menghasilkan akibat buruk yaitu kemusnahan (samsara).
Ø  Vipakahetu atau penyebab penghasilan yang merujuk kepada sebab dan akibat adalah dua jenis yang berlainan. Sebagai contoh penyebab yang baik menghasilkan kesan yang baik. Penyebab yang buruk mendatangkan kesengsaraan. Sebab yang baik atau yang buruk akan menghasilkan hukuman atau penghasilan (vipakaphala) bergantung kepada baik atau buruknya sebab. Dalam konteks ini, keseronokan atau penderitaan adalah penghasilan yang timbul apabila perbuatan dilakukan (Vipakahetu).

Penjelasan ini pun memang diusahakan untuk lebih merujuk penjelasannya kepada pemikiran logika penyederhaan kita secara kenyataan di mana penciptaan alam semesta dan kita sebagai manusiannya saat ini benar-benar terkunci dalam ikatan keberadaan di dunia yang materil dan merusak. Dan ajaran sang Budha sebagai inspirasi pelepasannya.

Uniknya lagi, dalam proses terjadinya bumi ini menuju kehidupan seperti sekarang ini juga ditandai dengan enam (6) periode yang terprediksi dalam ilmu pengetahuan modern Geologi pada Zaman Paleozoikum yang juga disebut Zaman Primer atau Zaman Hidup Tua. Zaman Paleozoikum adalah zaman ketika terdapat kehidupan pertama di bumi. Disebut juga Zaman Primer karena untuk pertama kalinya ada kehidupan.) Paleozoikum (bahasa Yunani: palaio,”tua”, dan zoion,  “hewan”, berarti “kehidupa purba”) adalah era pertama dari tiga era pada eon Fanerozoikum. Era ini berlangsung pada kurang lebih 542-541 juta tahun yang lalu. Dan ada juga perkiraan lain bahwa zaman ini berlangsung 340 tahun. Zaman tersebut di bagi menjadi enam periode yang berturut-turut dari yang paling tua, yaitu:

Ø  Kambrium
Kambrium (bahasa Inggris: Cambrian) adalah periode pada skala waktu geologi yang dimulai sekitar 542 ± 1,0 juta tahun yang lalu di akhir eon Proterozoikum, dan berakhir pada sekitar 488,3 ± 1,7 juta tahun lalu, dengan dimulainya periode Ordovisium. Periode ini merupakan periode pertama era Paleozoikum dari era Fanerozoikum. Nama “Kambrium” berasal dari Cambria, nama klasik untuk Wales, wilayah asal batuan dari periode ini pertama kali dipelajari.

Ø  Ordovisium
Ordovisium adalah suatu periode pada era Paleozoikum yang berlangsung antara 488,3 ± 1,7 hingga 443,7 ± 1,5 juta tahun yang lalu. Periode ini melanjutkan periode Kambrium dan diikuti oleh periode Silur. Periode ini mendapat namanya dari salah satu suku di Wales, Ordovices, ini didefinisikan oleh Charles Lapworth pada tahun 1897 untuk menyelesaikan persengketaan antara pengikut Adam Sedgwick dan Roderick Murchison. Masing-masing  mengelompokan lapisan batuan yang sama di Wales Utara masuk dalam periode Kambrium dan Silur. Lapworth mengamati bahwa fosil fauna pada strata yang dipersengketakan antara ini berbeda dengan fauna pada periode Kambrium maupun Silur sehingga seharusnya memiliki periode tersendiri.
Pada zaman Ordovisium, hampir seluruh daerah di sebelah utara garis balik berupa lautan. Masa daratan berkumpul menjadi benua super Gondwana, yang bergerak menuju Kutub Selatan. Iklim bumi saat itu hangat. Di dasar laut, terdapat trilobia (sejenis udang) dan invertebrate (hewan tanpa tulang belakang) dengan cangkang bersendi yang disebut brachiopoda. Ada juga hewan pembangun karang, seperti koral dan lili laut, chephalopoda mirip cumi, serta beberapa ikan awal. Ketika Gondwana mencapai Kutub Selatan pada akhir zaman Ordovisium, iklim berubah. Sejumlah besar gletser terbentuk dan mengeringkan laut-laut dangkal. Sekitar 60% invertebrate laut menghilang dari rekaman fosil.

Ø  Silur
Silur adalah periode pada skala waktu geologi yang berlangsung mulai akhir periode Ordovisium, sekitar 443,7 ± 1,5 juta tahun yang lalu, hingga awal periode Devon, sekitar 416,0 ± 2,8 juta tahun yang lalu. Seperti periode Geologi lainnya, lapisan batu yang menentukan awal dan akhir periode ini teridentifikasi dengan baik, tapi tanggal tepatnya memiliki ketidakpastian sebesar 5-10 juta tahun. Awal Silur ditentukan pada suatu peristiwa kepunahan besar (Ordovisium-Silur) sewaktu 60% spesies laut musnah.

Ø  Devon
Devon berlangsung antara 416,0 ± 2,8 hingga 359 ± 2,5juta tahun yang lalu. Namanya berasal dari Devon, sebuah tempat di Inggris, tempat pertama kalinya batuan Exmoor yang berasal dari periode ini dipelajari. Zaman Devon sering disebut sebagai masa kejayaan ikan. Banyak ikan tak berahang dan placoderma hidup pada zaman ini.
Pada akhir zaman Devon, ada dua galur evolusi ikan. Galur pertama, ikan bersirip pipih yang semakin beraneka ragam dan meliputi sebagian besar ikan masa kini. Galur kedua, ikan bersirip bulat yang kini hanya diwakili oleh enam ikan paru-paru dan ikan Coelacanth, meskipun pada zaman Devon banyak terdapat spesies. Ikan-ikan ini bisa bernapas di udara dan bergerak dengan sirip bulatnya. Para ahli percaya bahwa vertebrate darat pertama berevolusi dari kelompok ini. Adapun kondisi laut pada zaman Devon dipenuhi Brachiopoda dan berbagai jenis koral yang tumbuh menjadi karang besar. Trilobite dan makhluk bercangkang sendi yang disebut Bivalvia berkeliaran di dasar laut, meninggalkan jejak dan liang. Lili laut, Blastoida, dan koloni Graptolita juga hidup di dasar laut. Pada akhir zaman Devon, terjadi kepunahan massal. Banyak ilmuwan percaya, hal ini dipicu oleh kedatangan zaman Es lain yang menyebabkan turunnya permukaan laut di seluruh dunia.

Ø  Karbon
Karbon adalah suatu periode dalam skala waktu Geologi yang berlangsung sejak akhir periode Devon sekitar 359 ± 2,5 juta tahun yang lalu hingga awal periode Perm sekitar 299,0 ± 0,8 juta tahun lalu. Seperti halnya periode Geologi yang lebih tua lainnya, lapisan batuan yang menentukan awal dan akhir periode ini teridentifikasi dengan baik, tapi tanggal tepatnya memiliki ketidakpastian sekitar 5-10 juta tahun. Nama “Karbon” diberikan karena adanya lapisan tebal kapur pada periode ini yang ditemukan di Eropa Barat. Dua pertiga masa awal periode ini disebut subperiod Mississippian dan sisanya disebut subperiod Pennsylvanian. Pohon-pohon Konifer muncul pada periode yang penting ini. Pada zaman ini, kehidupan di daratan telah sepenuhnya berkembang. Saat itu, hutan-hutan batu bara dihuni oleh serangga raksasa, berbagai Arthropoda, dan reptilian pertama. Zaman ini berakhir ketika zaman Es di mulai, yang mempengaruhi hampir seluruh belahan bumi selatan.

Ø  Perm
Perm atau permian adalah periode dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 299,0 ± 0,8 hingga 251,0 ± 0,4 juta tahun lalu. Periode ini merupakan periode terakhir dalam era Paleozoikum. Perm dibagi tiga kala, yaitu Lopongiar, Guadalupian, dan Cisuralian. Zaman Perm, yang telah terjadi sebelum Masa Mesozoikum, berakhir dengan kepunahan missal 95% spesies. Kepunahan ini memicu evolusi Dinosaurus. Kematian Dinosaurus meninggalkan ruang bagi kelompok hewan lain untuk mengambil alih. Ini adalah giliran mamalia dan burung yang menyebar ke seluruh dunia, dan berkembang menjadi aneka ragam spesies. Itulah enam periode dalam masa Paleozoikum.

Pada awalnya, di ‘sana’ diendapkan dari materi kosong yang lebih halus dan lembut daripada cahaya. Kemudian datang gas yang sangat halus. Jika mata manusia telah melihat pada sejarah fajar, mata itu akan melihat kabut kosmis yang luas. Gas atau kabut ini adalah yang melahirkan dari Semua yang Hidup, jika seperti sekarang pada manusia adalah sang Ibu. ‘Ibu Bumi’, sebut saja begitu, akan berubah dalam perjalanan sejarah ini dan menduga banyak bentuk berbeda, banyak nama berbeda (Dewa-Dewi, Tuhan, Allah, dan sebagainya), tetapi pada awalnya, “bumi tanpa bentuk dan kosong”.

Sekarang untuk pembalikan keberuntungan besar pertama, dalam penceritaan Alkitab pada frasa: “Kegelapan di atas wajah bumi.” Menurut komentator Alkitab yang bekerja di dalam tradisi esoteris, ini adalah cara Alkitab mengatakan bahwa ‘Ibu Bumi’ diserang oleh angin kering yang membakar (mungkin seperti angin gurun yang panas atau wedhus gembel yang terhembus dari kawah gunung berapi) sehingga nyaris mematikan kemungkinan untuk hidup bersama.

Dan bagi mata manusia, hal itu akan tampak seolah berkabut yang terjalin dengan lembut yang berasal dari pemikiran Tuhan tiba-tiba diambil alih oleh pancaran kedua. Ada sebuah badai seperti fenomena yang jarang dan menakjubkan diteliti oleh para astronom pada kematian sebuah bintang, mungkin kecuali bahwa di sini pada awalnya hal itu merupakan sebuah skala yang benar-benar luar biasa yang mengisi seluruh alam semesta. Pada sisi lain dalam alam semesta hubungan antara pikiran dan materi jauh lebih akrab. Hubungan itu adalah hubungan dinamis yang hidup. Segalanya dalam alam semesta ini hidup dan sadar hingga taraf tertentu, menanggapi kepekaan dan kecerdasan hingga kebutuhan kita yang terdalam dan terlembut. Sebagaimana seperti seorang ilmuwan menjelaskan sejauh itu, “sebuah penyakit materi”.

Jadi ini adalah apa yang seharusnya terlihat oleh mata fisik, tetapi bagi mata imajinasi awan besar kabut dan badai besar yang menyerang bisa jubah momok raksasa. Mungkinkah ini juga sisi lain seperti dari angin puting Beliung , angin Bohorok, badai Katrina dan lainnya?

Para ahli geologi memberi tahu kita bahwa seiring berjalannya waktu bumi mengalami proses pendinginan sehingga bumi secara perlahan naik dari kerak tipisnya yang berupa batuan meleleh. Kemudian uap air di atmosfer mulai mengkondensasi dan jatuh di atas kerak ini sehingga membentuk sungai, danau, dan laut pertama. Partikel-partikel debu dan batuan air terakumulasi pada lapisan-lapisan, atau strata, tingkatan yang kemudian mengeras membentuk batuan berlapis. Batuan-batuan berlapis ini berada dalam kedalaman 25 mil di bawah permukaan bumi dan mengandung sisa-sisa fosil tanaman dan binatang. Fosil ini menunjukkan bahwa kehidupan di mulai dari bentuk-bentuk yang rendah di muka bumi, dan bahwa semua kehidupan yang ada telah berkembang dari bentuk-bentuk paling awal ini, bentuk-bentuk yang lebih rendah.

Sebagaimana dalam literatur kuno pada mitos-mitosnya, pada ilmiah modern pun astronomi dan geologi memberikan gambaran mengagumkan tentang bumi di masa lalu. Para astronom memberi tahu bahwa luar angkasa sebagian besar hanyalah ruang kosong atau hampa. Dan bahwa di interval-interval mahaluas di ruang kosong atau hampa ini terdapat apa yang di namakan “bintang-bintang” tetap  berupa massa zat yang berpijar, di mana bahwa matahari adalah semacam bintang besar atau pusat bintang, dan bahwa matahari melemparkan massanya satu demi satu yang membentuk planet-planet yang berada dalam sistem tata surya. Maka bumi kita terpisah dari matahari induk mungkin lebih dari seratus juta tahun yang lalu.

Selain pada kisah Amun-Ra pada mitologi Mesir, ataupun dalam drama penciptaan dengan penokohan dewi Bumi, dewa matahari dan Saturnus pada mitologi Yunani, kesinambungan dalam literatur kuno pada perpisahan antara bumi dan matahari ini juga ada dalam sebuah cetakan pada abad ke-17 yang menggambarkan tulisan Robert Fludd akan hal tersebut. Ia merupakan sarjana Rosikrusian yang terkenal dan dipercaya secara tradisional telah menjadi salah satu anggota dewan yang menerjemahkan Alkitab Raja James. Karena ternyata, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dalam Alkitab banyak bagian yang menyinggung metafora Dewa Matahari dalam penciptaan seperti yang biasa dipahami dalam agama-agama dunia kuno. Begitu pula dalam kultural kuno yang turun-temurun pada beberapa kebudayaan masyarakat daerah di Indonesia selain ada yang akhirnya melebur menjadi kultur baru seiring munculnya modernisasi keyakinan berbagai agama yang masuk ke Nusantara.

Jika dianalisa kembali, seperti yang sudah disimpulkan di atas... pemahaman waktu seringkali menjadi kesenjangan logika keempirisan antara literatur kuno dan penjabaran ilmiah modern. Selain itu juga yang menjadi sudut pandang mendasar adalah di mana ekosistem penyampaian literatur kuno masih adanya alam rohani untuk mengambarkan perwujudan yang akan di yakini alam materi sekarang ini. Sedangkan ekosistem penjabaran ilmiah modern lebih ditonjolkan kepada sistematis dan estetika materialis dari bentuk logika yang ternyata saja.

Ilmu pengetahuan dan agama setuju bahwa pada mulanya kosmos bergerak dari sebuah ketiadaan materi kepada keberadaan materi. Namun, ilmu pengetahuan tidak menjelaskan dengan luas tentang transisi misterius ini sehingga semuanya menjadi sangat spekulatif. Para ilmuwan bahkan terpecah pada pendapat apakah materi diciptakan sekaligus atau materi masih terus tercipta.

Sebaliknya ada kebulatan yang mengagumkan di antara para pendeta pemula dari dunia kuno, seperti pada masa Oriental kuno. Rahasia pengajaran mereka tersembunyi dalam naskah-naskah suci dalam agama-agama besar dunia.

Nah, untuk mencoba pendekatan persamaan waktu antara literatur zaman kuno dan penjabaran ilmiah modern di mana pada contoh-contoh proses penciptaan di atas, saya coba dekatkan secara imajinatif. Dengan adanya kesamaan 6 masa proses pembentukan bumi pada Kitab Kejadian dan ilmiah Geologi, untuk pendekatan waktunya kita dapatkan dari teori agama Hindu di mana satu tahun Ketuhanan bersamaan 3110.4 milyar tahun manusia. Berarti kesenjangan perbedaan waktu ini karena sudut pandang ekosistem alamiah yang digunakan berbeda, yaitu karena literatur-literatur kuno ada yang menggunakan alam rohani sebagai acuan gambaran waktu.  Sedangkan dari sisi ilmu pengetahuan modern, penjabaran waktu akan terasa berlangsung sangat lama karena kita berada di logika alam materil. Karena di bumi ini waktu berproses lebih berkali-kali lipat dari waktu yang terdapat di alam rohani.

Sebagaimana jika para astronot, misalnya mereka terjebak di luar angkasa karena pesawat antariksa mereka hancur bertubrukan dengan batuan angkasa luar. Mereka pun terkurung di ruang hampa udara yang maha luas itu di antara serpihan pecahan bebatuan dan bangkai pesawat. Mereka melayang-layang pelan dengan sekelilingnya seolah-olah menjadi sangat lambat bebatuan itu mengitari mereka dan waktu seolah terhenti di dalam selubung bebatuan itu. Misalkan, mereka baru saja melawat di angkasa luar itu 3 hari dari yang mereka rasa saat mereka meninggalkan bumi, namun didapati waktu di bumi, ternyata tim lain mereka di bumi sudah terhitung 3 bulan memantau sejak mereka lepas landas ke angkasa luar. Kira-kira seperti itulah analogi kesenjangan waktu literatur kuno dan ilmiah modern karena sudut pandang ekosistem alam yang berbeda. Jadi, satu hari yang dimaksud dalam Kitab Kejadian adalah bukan “hari” biasa kita dapati seperti hari yang kita rasakan dan dapatkan sekarang di kehidupan materil ini. Dengan penyatuan kemungkinan membagi sejarah bumi sepanjang perhitungan ilmu pengetahuan modern yang milyaran tahun itu ke dalam enam zaman terpisah, masing-masing setara dengan satu dari enam hari penciptaan.

Maka, jika dalam 1 tahun Ketuhanan adalah bersamaan 3110,4 milyar tahun manusia, berarti kita akan dapati  1 hari Ketuhanan bersamaan ± 8,5 milyar tahun manusia. Dan dalam prediksi Geologi tercatat, bahwa batuan tertua bumi kira-kira 3,8 milyar tahun yang dimasukan dalam periodesasi Zaman Tertua-nya (Zaman Arkaekum). Berarti jika kita sambungkan analoginya, satu hari penciptaan Kitab Kejadian mewakili ± 8,5 milyar tahun untuk terproses di bumi, terlepas dari sudut pandang lain dari Kitab Yobel yang mendasari 1 hari Ketuhanan sama dengan 1000 tahun manusia.

Dan mungkinkah hal ini bisa didapatkan semua jangkauan perwaktuan awal yang sudah ditelusuri dari berbagai bidang ilmu alam modern dengan pemahaman literatur kuno seperti pada Kitab Kejadian? Di mana sesungguhnya saat Allah berfirman untuk segala air yang di bawah langit untuk berkumpul pada satu tempat, hingga kemudian ada bagian kering yang dinamakannya daratan adalah hari Ketuhanan saat periode Geologi Zaman Arkaekum dengan batuan tertua yang tercatat berumur kira-kira 3,8 milyar tahun itu.

Akan tetapi masih juga banyak hal yang begitu mengganjal untuk keterkaitan logika semua itu. Di mana hal-nya seperti dalam setiap pergantian periode Geologi dalam setiap masanya sering ditandai dengan perubahan alam yang tidak stabil seperti interglasial dan glasial yang diikuti dengan kepunahan suatu kehidupan yang ada saat itu. Jika ini coba dikaitkan dengan Kitab Kejadian, kemungkinan besar ada dua alternatif. Yang pertama, jika dikaitkan dengan waktu dan proses di mana saat Allah melihat bahwa apa yang diciptakan pada hari itu baik dengan kemudian jadilah petang dan jadilah pagi. Di mana yang di maksud pergantian waktu petang-pagi adalah saat kemunculan-kemusnahan pada setiap penjabaran ilmiah Geologi mendapati zaman periodenya masing-masing.

Sedangkan yang kedua, sesungguhnya bahwa bumi sudah mendapati kekiamatannya berkali-kali untuk meregenerasi segala isinya berikut kehidupan yang sudah ada. Jika dikaitkan dengan Kitab Kejadian, akan mungkin seperti genosida pada masa Nuh, di mana ada bencana air bah dan musnahnya kehidupan bumi dengan pengecualian yang terselamatkan dari bencana itu seperti Nuh. Dan juga seperti yang pernah diartikulasi pula oleh generasi kuno; Deucalion, Plato, Proclus, Diodorus, Pliny, Strabo, Plutarch, serta generasi modern seperti Prof. Arysio Santos dan  Oppenheimer terkait hilangnya perabadan masa lampau (Atlantis) dengan adanya bencana alam dan banjir besar (Bahtera Nuh) karena dampak dari perubahan jaman seperti peralihan Zaman Es dengan adanya interglasial, glasial, dan pasca glasial. Dan hal ini pulalah yang menjadi penanda muncul-hilang periodesasi yang ada dalam ilmiah Geologi. Dengan berarti kemungkinan kedua ini, periodesasi Geologi seperti Zaman Primer adalah periodesasi yang ada pada Alkitabiah dari Adam sampai Nuh. Dan siklus itu, kita saat ini pun dalam suatu siklus periodesasi zaman penerus lainnya, yaitu Neozoikum atau zaman hidup baru bumi di mana akhir zaman nanti seperti yang sudah ada dalam berbagai penceritaan dan pencitraan untuk sebagai penutupnya.

Terkait dengan prosesi berikutnya, adalah prosesi penciptaan manusia masih kepada perbandingan literatur kuno dan ilmiah modern untuk mencoba berada pada persamaan logika dan penjabaran tersendiri secara terpisah pembahasannya dari penulisan ini. Di mana sebagai adanya sisi lain dari pertumbukan prosesi alam semesta, dalam ranah manusia seperti pada masa Adam hingga Nuh. Yang mungkin juga, bisa sedikit menyibak selubung gelap pada teori Evolusi yang pernah dikumandangkan Charles Darwin. Dan ini pun tak lebih dari sekedar dan sekelumit opini untuk mendapati suatu persamaan dari perbedaan yang ada, dengan kemungkinan tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan penyampaiannya... (NB: dari berbagai sumber).

Bersambung ke penulisan “NAFAS”  (Noah Ark From Atlantis)...

Frankincense (Purwokerto, 8 Maret 2018)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persepsi Introversi (bagian akhir)

CARA MENGEMBALIKAN SMARTPHONE ANDROID KE PENGATURAN AWAL (FACTORY RESET)

PITASAKA – Pitik Tarung Sak Kandang