WICK (World in Create Kaleidoscopic)
Keyakinan dan prinsip mungkin selama ini memang lebih mensejatikan diri individual para manusia. Akan tetapi jika untuk mengangkat kebenaran, seringkali semua hanya menjadi kritis. Sebagaimana ada siang ada juga malam, perbedaan akhirnya hanya menjadi racikan keindahan argumentasi pro dan kontra. Apalagi dokumenter kuno lebih bersifat sastra naratif yang sarat akan makna yang simbolis yang juga banyak sentuhan imajinatif makulat. Sedangkan dalam konsep dokumentatif modern masa kini yang dimaktubkan adalah bersifat deskripsi yang konkret sebagai jalur pemahaman ilmiah yang materil, penjabaran pada kebudayaan logika yang didasari arus perkembangan zaman. Maka bisakah sekiranya, dalam satu inti atau pokok suatu hal yang sama menjadi terbeda-beda versial bisa menjadi satu kembali kesamaan pemahamannya? Hingga saat ini, sejarah awal perabadan di Bumi masih tersimpang-siur dan terus-menerus diperdebatkan. Dari berbagai hal yang akhirnya mulai tersubtitusi pada pengelompokan kesepahaman tertentu pada ilmu pengetahuan demi tercapainya keterpusatan sudut pandang yang hakiki. Di sini saya mencoba menggabungkan beberapa sumbu-sumbu yang ada terkait penciptaan Bumi yang terkesan berubah-ubah dan misterius.
Inilah
“WICK”, sumbu dari berbagai jalinan sumbu yang mencoba menjadi nyala api yang
satu dari berbagai perubahan oleh angin-angin nakal yang seringkali memperkecil
atau memperbesar nyala api itu sendiri. Antara lain dengan mencoba keterkaitan
imajinatif penggabungan paham literatur kuno dan ilmiah modern. “materi datang
sebelum pikiran” atau “pikiran datang sebelum materi? Mana yang menurut anda
lebih dulu hadir di awal alam semesta ini?
Awal
mula
Nah,
untuk tahap awal ini sebelumnya akan saya berikan gambaran dari beberapa kitab
dan beberapa mitologi serta penjabaran ilmiah modern untuk sedikit imajinasi
anda pada perbandingan dan persamaannya pada penelusuran ilmu pengetahuan kuno
dan modern akan metode penciptaan bumi beserta segala isinya.
Mitologi
dalam berbagai kebudayaan didasarkan pada kisah-kisah tentang misteri paling
menarik di dunia, yaitu bagaimana alam semesta dan manusia diciptakan. Mitos
berikut ini akan menjelaskan tentang bagaimana penciptaan itu terjadi, menurut
kitab suci Quiche Maya, Popol Vuh;
sebelum manusia, hewan, tumbuhan, pohon dan bebatuan diciptakan, tidak ada
apapun kecuali langit di atas dan lautan di bawah. Bahkan cahaya dan suara
belum ada. Yang ada hanya dewa-dewa yang disebut Para Pencipta yang hidup
tersembunyi di bawah lapisan bulu berwarna hijau dan biru jauh di dasar lautan.
Ini agak berbeda dari konsep mitologi lainnya yang kebanyakan menggambarkan
para penciptanya berada dari langit atau angkasa luar. Dan juga mungkinkah
dalam segi ranah kosmos ini dengan ilmu pengetahuan modern akan berkelindaan sebagai
suatu simbolis pada suatu perbedaan peranan
kosmos dari langit dengan yang berada dari bawah atau dasar bumi yang nanti
salah satunya membentuk periode Antedivilum yang bercirikan makhluk amphibian
(dua habitat) berevolusi muncul dari antara kehidupan perairan dan daratan?
Kemudian
pada mitologi Mesir yang antara lain dikemas dalam Buku kematian(Book of the Dead) diceritakan bahwa pada
mulanya, hanya ada kekacauan, kegelapan dan kesunyian di seluruh jagat raya dan
keabadian. Dengan penampangan lain adalah jurang tak berdasar yang berisi
samudra hitam tak bertepi dan air mati yang ada sebagai makhluk hidup. Di mana masyarakat Mesir memanggil ketiadaan
ini sebagai “Nu” dan menyembahnya sebagai dewa. Siapapun memilih untuk
memanggil kemuraman ini (Nu) dan meramalkan keadaan hampa, jauh di masa lampau,
ketika sebuah kejadian dramatis dan menakjubkan mengubah ketiadaan menjadi
keberadaan.
Ini
adalah penciptaan Amun, yang pertama, Raja Para Dewa, sang pencipta segalanya. Tidak ada dewa lain
yang bisa menciptakannya. Karena tidak punya ayah dan ibu, Amun menciptakan
dirinya sendiri dalam sebuah kegaiban, cara rahasia kosmos yang tidak pernah
diketahui oleh manusia.
Dan
pada mitologi Yunani sendiri di awali dari keberadaan Kronos dalam evolusi yang
telah begitu lama terkantung-kantung dalam kegelapan dan kehampaan yang luas
sekali.
Sedangkan
pada mitologi Cina tertuju pada sosok tokoh bernama Panku yang dikisahkan sebagai
seorang raksasa. Nah, dalam hal ini... yang menurut saya jika disamakan
persepsinya dengan ilmu pengetahuan modern, ada pada “Teori Big Bang”. Di mana
pada suatu ketika, dunia adalah pusaran kegelapan yang sangat besar. Tidak ada
kayangan. Tidak ada bumi. Semua kekuatan di alam semesta terjerat dalam sebuah
telur kecil berguling dan berputar dalam kekacauan di mana Panku kemudian lahir
dan tumbuh menjadi raksasa. Lalu pada suatu hari, ketika alam semesta sudah
benar-benar tidak stabil, Panku terbangun. Ia tidak melihat apapun di
sekitarnya selain kegelapan dan kekacauan. Awalnya ia tertarik dengan ritme
dunia yang tidak teratur. Ia melihat, terkagum-kagum dengan putaran
partikel-partikel yang meledak dan berserakan di sekitarnya. Ia belajar dengan
cepat untuk mengelak dari ledakan-ledakan gas dengan melompat gesit dari satu
sisi ke sisi yang lain. Bisa jadi sebagai inspirasi untuk secara imajinatif
jika dikaitkan dalam ilmu pengetahuan modern sebagai efek dari kemunculan
energi halus yang lama-kelamaan membentuk bayangan material dengan secara
perkembangan yang secara tidak beraturan seperti pada konsep Big Bang, hingga
kemudian muncul keagungan energi lain yang ditakdirkan menguasai situasi itu sebagai
pengatur kendali dan pengubah keadaan yaitu Panku, atau dalam teologi
monoteisme modern sebagai Tuhan atau Allah.
Menurut
Brian (2008) doktrin atau teori penciptaan alam semesta mempunyai persamaan
antara agama-agama seperti Islam, Kristiani, dan Yahudi. Sementara agama-agama
lain seperti Hindu dan Budha wujud jurang perbedaan yang menjadi hak eksklusif
agama-agama ini mengikuti sudut pandang dan kepercayaan mengenai konsep
Ketuhanan itu sendiri. Justru terdapatnya formula penciptaan yang berasaskan
konsep creation ex nihilo, nihilo dan
sebagainya yang bergantung pada asas kepercayaan utama sebuah agama yaitu
Ketuhanan.
Dan
penyederhanaan akan kepercayaan Sang Energi Agung itu dalam agama Islam sebagai
suatu pusat eksistensi Ketuhanan yang esa, merujuk pada teosofis monoteisme
(persujudan pada Sang Pencipta sebagai Tuhan yang tunggal atau Tuhan yang satu)
Yahudi dan Nasrani yang diharfiahkan dalam konsep Tauhid, menuangkan formulanya di Al-Qur’an pada Surah
Al-Ikhlas yang diungkapkan sebagai berikut:
“Dia-lah Allah (Tuhan), Yang Maha
Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu, Dia tidak
beranak, dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan
Dia.” (Surah Al-Ikhlas)
Pada
Kitab Kejadian, dituliskan bahwa “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan
bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudra raya, dan
Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.”(Kejadian 1: 1-2)
Dan
dalam kedua gambaran monoteisme ini dibandingkan dengan mitos-mitos tersebut
yang terkesan lebih politeisme (Tuhan lebih dari satu atau jamak), sesungguhnya
perbedaan hanya sudut pandang imajinatifnya saja. Di mana penamaan dan alur
prosesinya berbeda, namun kesamaan tetap satu. Bahwa segala sesuatunya bermula
kehampaan yang abstrak hingga munculnya keberadaan. Sebagaimana inti perwujudan
seperti halnya kemunculan ‘Amun’ dalam mitologi Mesir dengan penjabaran ‘Dia’
dalam Surah Al-Ikhlas atau ‘Allah’
dalam Kitab Kejadian. Dan hal itu memang sesuatu misteri yang luhur, takdir yang
mengubah dari keajaiban menuju mujizat yang agung.
Sedangkan
dalam asas penciptaan dari agama Hindu berpaksi mempunyai dua paksi teori yaitu
paksi penciptaan Tuhan sebagai pencipta dan paksi penciptaan alam semesta yang
diciptakan oleh Brahma. Kebanyakannya menceritakan Brahman mengalami nasib
kesunyian karena sekelilingnya diselubungi kosong(asat) (Nrusingh, 1991: 272). Pada awalnya kesemua kewujudan alam
semesta dilahirkan sebagai Purusha yaitu
prinsip kosmos yang bersifat jiwa, halus, dan tiada bentuk fisikal(idea).
Dari pandangan umum Budha sendiri meniadakan
campur tangan Tuhan, dengan sebab-akibat daripada suatu kuasa yang mengikat dan
tidak gemar memperbincangkan pada teori kejadian alam semesta yang dianggap
sebagai sesuatu yang biasa. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab Dhammapada alam dunia dianggap sebagai lokavaggo;
Mari, lihat dunia ini
ibarat kereta kuda diraja yang dicat cantik dan indah,
Hanya orang yang bodoh
sahaja yang akan tenggelam dengan itu
tetapi,
Bagi yang bijak tiada
apa-apa sumbangan dari kereta kuda itu (dunia).
(Radhakrisnan, 1968: 118)
Akan
tetapi, Crutcher (2000) melihat agama Budha mempunyai sistem pengkajian alam
semesta dalam sudut pandang yang berlainan. Baginya, agama Budha telah mencapai
satu tahap pengetahuan di mana alam semesta dilihat terlalu luas dan tidak
meninggalkan apa-apa untuk dikaji, lalu mengambil pendekatan tidak perlu
mengkaji alam semesta. Justru itu, matlamat agama Budha lebih menumpu pada
melakukan reformasi kuasa yang menggerakkan alam semesta.
Dimaksudkan
dengan mereformasi kuasa yang menggerakkan alam semesta adalah prinsip utama
yang dipegang agama Budha tidak meletakkan Tuhan sebagai kuasa penggerak tetapi
sebab dan akibat. Dengan kemungkinan, yang dimaksud kuasa penggerak itu adalah
‘Mara’ yang pernah menemui Sang Budha saat sedang dalam masa kelanjutan
pertapaannya selama 6 tahun. Di sisi lain, Henokh yang merupakan keturunan
generasi ketujuh Adam dan Hawa semenjak diusir dari taman Eden juga pernah
menuju dunia Ilahiah selama 6 Yobel dari tahun-tahun saat itu.
Ilmu
pengetahuan modern pun menjawab, khususnya dalam ranah Geologi (ilmu yang
mempelajari bumi secara keseluruhan) akan berada pada awalnya di Zaman
Arkaekum. Zaman ini merupakan zaman tertua, di mana masa awal pembentukan bumi
dari inti sampai kulit bumi. Kondisi bumi saat itu belum stabil, dan memiliki
udara yang sangat panas sehingga tidak memungkinkan adanya kehidupan. Batuan
tertua tercatat berumur kira-kira 3,8 miliar tahun.Zaman Arkaekum berlangsung
sekitar 2.500 juta tahun yang lalu. Pada zaman itu, bumi masih merupakan planet
bola gas yang sangat panas, sehingga tidak memungkinkan terdapat mahkluk hidup.
Maka
dari semua perbandingan hal tersebut jika ditarik analisisnya untuk persamaan
adalah bahwa pada awal mulanya semesta ini berada pada ‘ketiadaan’ yang tertuju
pada pengambaran suatu kegelapan dan kehampaan (seperti sekarang pada
penampakan antariksa untuk angkasa luar dan saat pemandangan langit malam hari
yang gelap tanpa cahaya bulan atau bintang), akan tetapi sesungguhnya ada suatu
bentuk kosmos yang sangat tidak kentara di antara semua itu. Kegelapan dan
kehampaan itu terdapat “Lautan Energi” yang tak kasat, sangat halus, abstrak,
dan belum berbentuk padat atau materi. Dalam arti lain, mungkin maksud akal
untuk mengatakan bahwa yang pertama kali terjadi lebih merupakan kejadian
mental atau nirmateri daripada kejadian fisik atau materi. Dan pada suatu masa
itu pun tidak ada waktu sama sekali. Jadi, dalam persejarahan ini, apa yang
terjadi sebelum ada waktu? Jika dikaitkan dengan lautan energi itu, kejadian
mental prima apa yang ada?
Kendatipun
tiada materi, ruang, dan waktu pada awalnya, sesuatu harus terjadi untuk membuat
yang lainnya bermula. Dengan kata lain, sesuatu harus terjadi sebelum ada apa-apa.
Di sinilah peran kosmos lautan energi itu untuk saling berkelindaan hingga
adanya suatu energi yang sangat agung yang menjadi pusat atau poros dari
energi-energi lainnya. Dan energi agung inilah yang akan menjadi Sang Pencipta
dalam ranah kemisteriusan(kerahasiaan) yang bersahaja dalam kosmos alam
semesta. Kira-kira begitulah gambaran analoginya, atau bisakah mungkin dari
contoh lain sehari-hari dalam hidup anda pernah mengatakan atau mengilhami
kepada anda segalanya tentang asal-usul kosmos?
Dan
mungkinlah ranah kosmos yang sudah semakin jauh logika ranah pemahamannya dan
sudah harus ditinggalkan dalam dunia pikiran modern ini hanya membuat kita ada
di perbatasan antara kuno dan modern, dualitas dimensional yang hanya akan membingungkan.
Karena kini pada umumnya para pemikir kelas ataupun tokoh-tokoh materialis
militan lainnya yang mengatur dan memelihara pandangan dunia ilmiah, “pikiran
Tuhan” tidak lebih baik dari gagasan laki-laki tua berambut putih di atas awan.
Ini kesalahan yang sama yang kata mereka dibuat oleh anak-anak dan suku-suku
primitif. Mereka menduga pastilah Tuhan seperti mereka adalah sebagai
antropomorfis yang keliru. Bahkan jika kita mengaku bahwa Tuhan mungkin memang
ada, mereka berkata mengapa “Ia” harus seperti kita? Mengapa pikiran-“Nya”
harus seperti pikiran kita? Dengan kata lain, satu-satunya mengapa pikiran
Tuhan mungkin seperti pikiran kita adalah jika pikiran kita dibuat seperti
pikiran-Nya yaitu jika Tuhan membuat kita dengan citra-Nya.
Maka
inti evolusi dari lautan energi kosmos ini untuk perubahan alam semesta adalah
dengan munculnya ‘pikiran’, sebagaimana kita manusia saat ini mendapati pikiran
dalam merencanakan dan mewujudkan suatu hal. Dalam alam semesta ilmiah, pikiran
adalah materi yang tak terduga, tidak penting, dan tidak ada hubungannya dengan
materi. Gambaran lain, dari persamaan meditatif dan kabalistis kita akan
dihadapkan pada sebuah kisah pencerminan diri. Lalu ranah imajinatif
mengantarkan pikiran dengan membayangkan makhluk-makhluk sangat mirip dengan
diri sendiri atau pun makhluk-makhluk bebas, kreatif yang mampu mencinta,
sangat cerdas, dan berpikir dengan penuh kasih bahwa mereka mampu mengubah diri
sendiri dan makhluk sejenis menjadi makhluk yang paling mendalam. Mereka bisa
memperluas pikiran untuk merangkul totalitas kosmos, dan di kedalaman hati
mereka bisa membedakan juga, rahasia-rahasia karya mereka yang paling halus.
Dengan
ini pada tahap berikutnya adalah apa yang sering digambarkan dalam kitab-kitab
ataupun mitos-mitos dengan kemunculan adanya ranah Surgawi yang tercipta dengan
berbagai sebutan Ilahiah lautan energi ini menjadi dewa-dewi ,
malaikat-malaikat, ataupun jin-jin, setan dan iblis yang dalam pemahaman umum
ilmu pengetahuan modern kita sebut sebagai “Roh”, dengan ini evolusi dari
pikiran menjadi adanya untuk tercipta kemunculan ‘kesadaran’ yang membentuk roh-roh
tersebut dan menjadi ‘jiwa’ alam semesta yang akan membangun perabadannya. Meski
semua makhluk-mahkluk itu menjadi suatu ‘kehidupan’ yang saat ini katakanlah di
balik cadar ilusi merupakan bagian dari hierarki endapan dari pikiran Sang
Pencipta, di mana beberapa memperlihatkan ambivalensi moral yang mengganggu.
Inilah pertentangan yang akan menjadi garis balik kosmos dan kelanjutan
sejarahnya, sebagaimana secara ilmiah kita telah mendapatkan unsur Proton (+)
dan Elektron (-) dalam konflik kosmos pada dualitas perkembangan kesadaran
‘pikiran’ yang berbeda itu menjadi cikal-bakal keberadaan manusia di Bumi. Dan
tanpa hikmah dari semua itu, mungkin kehidupan manusia sampai yang ada sekarang
ini, belum tentu akan ada. Karena kemungkinan besar peran Manusia hadir sebagai
‘Neutron’ untuk ionisasi kehidupan alam semesta yang berkelindaan, cenderung
Proton atau Elektron. Ke mana pikiran untuk Kesadaran jiwa versus Kesadaran Fisik, yang mana akan jadi sebab dan akibat dari
lingkaran kehidupan di jagat raya-alam semesta ini.
Dengan
asal-mula itu pula kita akan dihadapkan pada suatu rahasia, dengan rahasia ini
jawaban atas apa yang telah terjadi, yang sekarang terjadi dan yang akan
terjadi. Di mana kita hidup dalam satu kuasa agung. Dan dari perpecahan kosmos
menjadi unsur positif dan negatif, kita memandu hidup kita dengan satu hukum
yang sama;”Hukum Alam Semesta... begitu tepat dalam hal awal mula kreasi atau
penciptaan dari perwujudan akan kemauan atau keinginan dari imajinasi-intuitif
yang akan membangun jaringan kosmos benang merah kehidupan kita dengan apa yang
dinamakan “ketertarikan”. Dan jika alam semesta ini adalah Lautan Energi, maka
semua ini adalah Permainan Energi... Proton(+) dan Elektron(-) seperti dalam konsep partikel atom mempengaruhi ionisasi
wujud unsur ataupun senyawa, yaitu ‘takdir alam semesta’.
Prosesi
1
Dengan
awal mula terbentuk suatu evolusi dari kosmos ke dalam bentuk “Jiwa” yang
memiliki kesadaran pikiran, maka dengan itu pula menjadikan keberadaan ini
terjadi dengan apa yang di namakan sebagai Proses. Dan dalam proses, secara
ilmiah kita akan dihadapkan dengan yang namanya waktu. Karena dalam logika
manusia modern kita akan selalu dikaitkan dengan waktu dalam suatu proses untuk
mensubtitusikan suatu masa-masa yang dilewati demi adanya suatu proses
tersebut. Dan hal ini pulalah yang menjadi kesenjangan hakiki dalam mengungkap
penelusuran yang ada secara ilmiah. Akan tetapi jika disatukan kesepahaman
ilmiah yang perlu diingat adalah bahwa dalam bidang tertentu ada artian
perhitungan “hari” yang tidak biasa dari yang biasa. Seperti secara astronomis
mendapatkan perasaannya saat berada di ruang hampa udara di luar angkasa dengan
di bumi, atau yang kita dapati saat menonton siaran bola liga Italia di tengah
malam yang mana di sana hari masih siang. Nah, karena perbedaan waktu inilah
yang sering mengecohkan kita pada kesenjangan analogi kehakikian. Waktu
hanyalah ukuran atau perkiraan untuk perubahan posisi benda-benda di alam raya,
dan, yang diketahui para ilmuwan, mistisme atau orang gila sekalipun, untuk
pada masa perlu tidak ada benda di alam raya.Misal, dalam evolusi atau
pergerakan bumi berputar mengelilingi matahari adalah satu tahun sebagai satu
ukurannya. Satu hari adalah ulangan putaran atau rotasi bumi pada porosnya. Karena
para penulis Alkitab tidak pernah berniat mengatakan bahwa perwaktuannya seperti
“waktu” biasa pada dunia ilmiah modern. Maka, berikut acuan untuk pendekatan
analoginya. Akan tetapi, di sini lebih diarahkan dulu pada proses bumi dan
segala isinya. Sementara prosesi manusia lebih dibahas pada bab berikutnya.
Dalam
Mitologi Aztec dan Maya, para pencipta merasa letih karena terus menerus hidup
dalam kegelapan dan kesuraman dibawah banyak lapisan. Jadi suatu hari mereka
bersatu dan berencana mengisi kosmos yang kosong dan luas. Mereka meneriakkan
kata-kata, “Biarkan penciptaan dimulai! Biarkan kehampaan diisi! Biarkan lautan
surut, menampakkan permukaan bumi! Bumi, bangkitlah! Biarkan semua terwujud!”
Begitulah
terciptanya bumi, dengan perbukitan, sungai-sungai, danau-danau dan pepohonan
yang muncul dari dasar laut. Pada awalnya, para pencipta terpesona dengan
gugusan perbukitan, arus sungai, dan pepohonan cemara. Meskipun dunia baru
tersebut sangat indah, namun dunia itu sangat sepi. Maka, para pencipta
menggunakan kemampuan mereka untuk menciptakan hewan seperti rusa dan burung.
Kemudian
para pencipta memerintahkan, “Kau rusa, tinggallah di sepanjang sungai dan
ngarai. Datangi padang rumput, semak belukar, dan hutan belantara. Beranak
pinaklah, kau akan berdiri dan berjalan dengan empat kaki.”
“Kau
burung yang indah, sarangmu ada di pepohonan dan semak belukar. Beranak
pinaklah dan menyebarlah di sana. Di dahan-dahan pohon dan sela-sela semak belukar.”
Para
pencipta sangat senang dengan adanya hewan-hewan, namun mereka masih punya
masalah. Para dewa ingin dipuji atas usaha mereka yang luar biasa dan dipuja
oleh semua ciptaannya. Binatang bisa berkoak, mendengking, dan menghasilkan
bunyi tanpa makna, tapi mereka tidak mampu berkata-kata untuk memuji ciptaan
para dewa. Para pencipta menjadi kecewa dengan keterbatasan ciptaan mereka.
Kemudian para dewa berkata:
“Kami
tidak akan mencabut apapun yang telah kami berikan kepada kalian. Karena kalian
tidak bisa memuja dan mencintai kami, kami akan menciptakan makhluk yang bisa melakukannya.
Makhluk baru ini akan lebih unggul dari kalian dan bisa menguasai kalian.
Itulah takdir kalian, mereka akan mencabik dan memakan daging kalian. Biarlah
semua itu terjadi!”
Para
pencipta kemudian menciptakan golongan makhluk yang lebih unggul dari hewan.
Makhluk ini adalah suku Maya yang mampu bicara. Namun, pekerjaan itu tidaklah
mudah. Dengan ini jika dikaitkan pada ilmu pengetahuan modern paling tidak
hampir sejalan dengan penciptaan di mulai dari unsur-unsur pembentuk dasar dan
permukaan bumi kemudian baru dimunculkan organisme kehidupan seperti tumbuhan
dan hewan, dan terakhir jenis manusia sebagai kunci penutupnya. Dan jika secara
teologis, kode ‘pencipta’ di sini menyiratkan pesan pada peranan jamak ‘pelaku’
penciptaan. Kesan ini menjadi cenderung pada sudut pandang politeisme dengan
sosok Ketuhanan lebih dari satu.
Sementara
pada Mitologi Mesir, dari ketiadaan (Nu) dengan kemudian muncul keberadaan
(Amun) yang menjadi tokoh utama proses penciptaan dari kedelapan dewa
pertama(Nu, Naunet, Hey, Hauhet, Kek, Kauket, Amun, Amaunet) yang disucikan di
Hermopolis. Maka keberadaan ini (Amun), memulai proses penciptaan mahkluk
dewata lainnya terlebih dahulu dengan tujuh dewa yang tergabung dalam anggota
Ogdoad serta dengan tanah purba (tanah kering pertama) yang ia lanjutkan dengan
menciptakan Ennead, kelompok sembilan dewa (Atum, Shu, Tefnut, Geb, Nut,
Osiris, Seth, Isis dan Nephthys) yang disucikan di Heliopolis dan Memphis. Amun
juga menciptakan Khnum, dewa berkepala kambing, ruh, dan iblis yang mendiami
langit, bumi, dan dunia bawah.
Setelah
melakukan penciptaan berat ini, Amun naik ke langit dan berubah menjadi
matahari yang memberi kehidupan (oleh karenanya ia sering dipanggil Amun-Ra
atau Dewa Matahari). Ketika ia menengok ke bawah, fase baru dari penciptaan
telah dimulai, yaitu bumi di mana manusia akan tinggal. Untuk menyempurnakan
tugas tersebut, Amun memilih Khnum yang di mana kedua sosok ini menjadi
dualitas Dewa Takdir oleh masyarakat Mesir. Sementara Amun mengawasi takdir
alam semesta, takdir yang yang diawasi oleh Khnum adalah bangsa manusia. Dan
atas seijin Amun ia menciptakan manusia pertama di roda tembikarnya yang hebat.
Ciptaan
baru Knum ini membutuhkan tempat untuk hidup. Dengan bantuan Amun di atas,
Khnum menggulung air kegelapan di sekitar tanah purba hingga menguak tanah
kering. Di tempat baru ini ia membantu manusia pertama membangun kota pertama.
Sebagian besar kota-kota itu dibangun seperti Thebes suci. Khnum juga mendiami
lahan pertama ini yang kemudian dikenal dengan Mesir, dengan semua binatang,
mulai dari burung, ikan, buaya, dan kumbang. Kemudian ia membuat pohon,
tanaman, dan tumbuhan-tumbuhan lain yang tumbuh melimpah ruah di permukaan
bumi. Pada masa itu, ketika manusia memiliki anak-anak dan berkembang biak,
lahan lain yang kosong pun mulai ditinggali. Namun Mesir tetap menajadi pusat
dunia yang diciptakan oleh Amun dan dewa-dewa lainnya yang juga diciptakan oleh
Amun. Jika dikaitkan dengan mitologi Aztec dan Maya sebelumnya, ini menjadi
sedikit berbeda di mana pada mitologi Mesir kemunculan manusia belum didukung
kesiapan alam buminya untuk menjalani kehidupan, dengan kemunculan bentuk alam
beserta organismenya serta tumbuhan dan hewan justru sesudah manusia pertama
diciptakan.
Kini
sejenak beralih pada mitologi Cina, di mana Panku mulai kelelahan dengan semua
keributan dan kekacauan di sekitarnya terus-menerus yang membuat syarafnya
tegang. Hiruk-pikuk itu membuat telinganya berdenging, dan itu membuatnya
sangat cepat marah. Semakin lama ia melihat kekacauan itu semakin ia merindukan
kedamaian tidurnya yang nyenyak.
Kekacauan itu mengganggunya, namun yang lebih penting, Panku tahu bahwa
tempurung alam semesta ini bisa pecah kapan saja.
Panku
tahu ia harus bertindak; ia menunggu hingga dunia tenang dan merebut sebuah
meteor yang panjang. Ia melempar sebuah kapak dan mengayunkannya turun dengan
segenap kekuatannya. Kapak itu tepat mengenai pusat telur dan meledak sangat
dahsyat. Suara dentuman bergema ke seluruh penjuru dunia dan merobek semua
partikel dan gas yang ada di alam semesta menjadi dua bagian. Cahaya, kekuatan
murni dunia, mengapung dan membentuk
awan biru. Kejahatan, kekuatan gelap dari alam semesta tenggelam dan membentuk
tanah yang subur.
Panku
sangat gembira dengan dunia barunya. Dunia itu menjadi indah, tentram dan
damai. Untuk memelihara keadaan itu, ia menopang langit dengan lengannya yang
kuat, menjepit tubuhnya antara kayangan dan bumi. Setiap hari langit tumbuh
tinggi, dan Panku pun menopangnya dengan semakin tinggi. Selama ribuan tahun, ia menyangga kayangan
tanpa mengeluh, memutuskan bahwa dunia tidak boleh kembali pada kekacauan.
Seiring
waktu berlalu, ia pun letih, sedangkan kumisnya menjejali dunia. Selama
berabad-abad, Panku mendorong dengan setiap sendi, kumis, dan tulang yang
kesakitan. Ia berteriak minta tolong, tapi suaranya hanya bergema dalam
kesunyian. Tak ada mahkluk lain yang tinggal disekitarnya. Setiap hari ia
menunggu pertolongan, namun setiap hari juga ia tidak mendapatkan apapun. Ia
berjuang selama puluhan ribu tahun hingga kayangan dan dunia tak saling
mengingat lagi, dan keduanya terpisah menjadi kekuatan yin (kegelapan) dan yang (cahaya).
Ketika
langit sudah sangat dekat dengan kayangan, dan dunia jatuh dengan keras, Panku
akhirnya kehilangan keteguhannya. Perlahan ia menjadi lemah dan tua. Tubuhnya
berangsur-angsur keriput dan menyusut.
Kumisnya mulai rontok, dan nafasnya tersenggal-senggal. Setelah
berabad-abad memulur dan menegang, raksasa yang handal ini jatuh ke tanah,
lelah dan kehausan.
Tubuhnya
yang besar dan layu itu menutupi bumi dengan rapat seperti karpet. Dagingnya
remuk dan menyebaran kesuburan dan bau manis tanah di tanah yang gersang.
Titik-titik keringatnya menjadi titik-titik hujan dan embun di tanah yang
lembut dan subur. Rambut dan jenggotnya menjadi ranting pohon dan semak-semak
yang keras. Rambut di lengannya menjadi dedaunan, tumbuhan merambat dan bunga
yang lembut. Gigi dan tulang-belulangnya patah menjadi logam yang bersinar;
emas, perak, dan tembaga yang masuk ke dalam tanah. Tulang sumsumnya mengeras
dan berwarna krem, permata transparan yang berwarna ungu, hijau, dan putih.
Darahnya menetes mengaliri tanah menjadi genangan yang luas dan sungai yang
deras. Suaranya, meski lemah, menciptakan guntur yang bergemuruh dan halilintar
yang merintih. Nafas kematiannya membentuk angin yang bertiup dan awan yang
mengembung. Akhirnya, terbebaskan dari penderitaannya, air mata Panku dari
tangis syukurnya jatuh berkilauan, menjadi air yang banyak yang menjadikan
lautan.
Akhirnya
tugas Panku selesai, dan Panku, sang pencipta telah mati. Di tempatnya, ia
meninggalkan dunia yang berkilauan dan bersinar dengan percikan warna biru
cerah, hijau ceria, coklat kehitam-hitaman, dan jernih; air dingin yang
gemericik. Di sini Panku benar-benar sebagai sosok tunggal dalam penciptaan
alam semesta secara jasad raksasa sebagai peracik bumi, dengan diakhiri berkah
kematiannya secara jasad dan kembali menjadi energi roh yang halus. Dengan ilmu
modern pada teori Big Bang pun diawali dari perwujudan materil raksasa yang
saling bertubrukan kemudian menjadi serpihan halus yang membentuk pemandangan
alam semesta baru di sekelilingnya. Ini berarti malah seharusnya lebih menyaingi
kebesaran mitos Atlas yang menyangga bumi dan dijadikan inspirasi penamaan jilid
kumpulan peta-peta dunia, karena di sini Panku berperan ganda dengan tak hanya
sebagai penyangga dunia tapi juga penciptanya dunia. Salonpas-nya pun harus
khusus ini, untuk mengobati pegel linu-nya mungkin lebih maknyus pake koyo cabe
ya...?
Nah,
yang cukup menarik juga dari Agama Hindu dari persamaan pada konsep kisah
penciptaan Panku dari Mitologi Cina, adanya kemiripan pada salah satu versi
prosesnya yaitu “telur kosmos”. Dalam versi ini, diceritakan bahwa munculah
suatu telur yang terbentuk di kesunyian yang diselubungi kekosongan dengan
Brahma berkeadaan duduk (bermeditasi) selama 1 tahun Ketuhanan (bersamaan
3110.4 milyar tahun manusia). Bermulanya penciptaan Brahma, maka bermula juga
segala aktifitas penciptaan alam semesta, Dia adalah Sebab Efisien semua
penghasilan segala kewujudan di alam semesta (Nrusingh, 1991: 273-274).
Seterusnya
Brahma sekali lagi bermeditasi di dalam telur kosmos selama beberapa tahun Ketuhanan,
lalu membagikan telur ini kepada dua
bagian yaitu kerajaan langit dan kerajaan bumi yang mana diciptakan langit
dunia sebagai pemisah kedua-dua kerajaan ini. Proses kejadian Tuhan adalah asas
teori kejadian alam agama Hindu yang seterusnya menciptakan penciptaan awal
alam semesta mengikuti kehendak Brahma (Shivendra 2008). Dengan berikutnya
dalam kitab Brihad-Arayanka Uphanisad
(1.4.6):
Kemudian Dia (Brahma) menggosok
dan daripada mulutnya terjadi percikan api (yoni)
dan gosokan di tangannya tadi menjadi api (agni).
Lalu apa-apa yang bersifat kelembaban suhu, Dia menjadikan air mani dan itu
adalah Soma, yaitu makanan dan
pemakan makanan. Oleh yang demikian, Brahma adalah pencipta yang berkuasa
dengan menciptakan dewa-dewa, pembantunya. Sesungguhnya Dia mengetahui apa yang
perlu diciptakan dalam tugasnya sebagai pencipta alam semesta.
(Anandtirtha 1916: 70)
Seterusnya dalam kitab yang sama (3.7.3),
menyifatkan Brahma bukan saja Tuhan yang menjadikan tetapi Dia juga entiti yang
dianggap Pengawal Dalaman (Inner
Controler) atau Jiva. Sifat ini
adalah sifat sinonim kepada sifat Brahma yang akan menyerapi setiap elemen alam
semesta apabila segala-galanya sudah lengkap diciptakan. Brahma adalah Pengawal
Dalaman setiap makhluk di alam semesta, yaitu:
Dia yang menetap di dalam
tanah ini, Dia bukan berasal dari unsur tanah, siapa yang tidak mengenal Dia,
siapa yang mengawal dan mengatur tingkah laku yang berada dalam unsur tanah
ini. Ia adalah Jiwa kamu, Pengawal Dalaman dan Dia adalah kekal abadi (Anandtirtha
1916: 115).
Justru itu kefahaman panteisme sebagian dari sifat
dan zat Brahma. Sebagaimana Brahman telah memindah kerahmatan dan kuasa
penciptaan kepada Brahma, begitu juga Brahma menyerahkan tanggung jawab untuk
menjalankan dan menggerakkan penciptaan alam semesta kepada satu kuasa
Ketuhanan yang lain dan sebagian zat Brahma itu sendiri, yaitu Maya.
Peranan Maya dalam
asas teori ini karena anggapan agama Hindu terhadap Brahma hanya sebagai
pencetus alam semesta yang memiliki kehendak. Analoginya seorang pengrajin
gerabah. Peranan Brahma hanya sebagai minda, mandat, dan kehendak untuk tukang
pembuatnya (Maya) yang mau
menghasilkan gerabah, manakala Maya sebagai
penerima dan pelaksana pesanannya. Dalam kitab Bhagavad Gita sendiri menceritakan Maya sebagai:
Untuk semua ini adalah
kuasa kreatif, Aku yang menghasilkan semua juzuk alam semesta, Ketuhanan dan ia
sesuatu yang sukar untuk dijangkau sama sekali. Sesiapa takut mempercayai Aku
seorang, seharusnya diletakkan kepada kuasa Aku yang luar biasa (Maya).
(Zahner, 1969: 14)
Dengan berarti Maya
merupakan kuasa penggerak alam semesta yang wujud dalam bentuk halus (subtle form), tidak berbentuk (formless) tetapi mutlak. Maya memiliki persamaan dengan Brahma
yaitu abadi dan tidak berbentuk, namun Maya
dikategorikan sebagai entiti yang tiada kehidupan (lifeless). Maya hanya
sekedar kuasa dan tenaga yang bertindak untuk menggerakkan penciptaan alam
semesta, tiada jasad dan tiada makan. Brahma mempunyai kehendak dan pemikiran
yang mahu menjadikan alam semesta. Maya adalah
tenaga yang menjadikan dan merealisasi proses kejadian alam semesta. Ia tidak
tertakluk kepada proses penciptaan saja, bahkan meliputi aktifitas penjagaan
dan kemusnahan alam semesta. Setiap makhluk sama ada yang mempunyai kehendak
atau tidak, akan tertakluk pada batasan ruang dan masa. Jiwa (roh) sifatnya
abadi walaupun jasad menjadi rusak. Kehidupan adalah hasil daripada perasaan
mengenai kewujudan ‘Saya’ (Tuhan). Kehidupan akan memberi perasaan mengenai
‘Saya’ (Tuhan), perasaan ini tiada wujud dalam Maya dan disebabkan itu Maya dianggap lifeless
(Swami Prakashanand, 2001: 445).
Peranan Maya pada
mula wujud sejurus selepas Brahma berkehendak untuk menjadikan. Permulaan
penciptaan alam semesta digelar sebagai penciptaan atau emanasi (srsti) dan puncaknya dari siklus kepada
alam semesta adalah kehancuran (pralaya).
Penciptaan dan kehancuran alam semesta adalah hasil tuntutan tugas bagi Maya. Walaupun kekuasaannya boleh
disalahartikan sebagai Tuhan, tetapi Maya
tidak dianggap sebagai Tuhan karena ia sekedar sebagian sifat dan zat
Brahma serta Maya hanya sekedar
tenaga yang menggerakkan alam semesta. Walaupun proses menggerakkan alam
semesta terletak di bawah kekuasaan Maya namun
segala perjalanan dan pergerakan alam semesta masih tertakluk kepada kehendak
Brahma dan Maya tidak boleh membuat
sesuatu luar dari kehendak Brahma. Sebagaimana yang telah dijelaskan, sesuatu
yang tiada minda dan kehidupan seperti Maya
adalah entiti yang tidak mungkin dan tidak boleh untuk merusak sistem ini
(Nrusingh, 1991: 281).
Maya tidak akan wujud tanpa
kualiti di dalamnya, kualiti atau sifat yang dimaksudkan adalah sattva, raja, dan tama yang digelar sebagai
rantaian Guna (Zaehner, 1969: 15).
Agama Hindu mempercayai tiada mahkluk atau kewujudan yang akan dapat
terkeluarkan daripada interaksi hubungan sattva,
raja, dan tama. Hubungan ketiga kualiti ini seperti
positif (sattva), negatif (tama), dan neutral (raja), lelaki, perempuan, dan khunsa, hidup, mati dan kelahiran
semula (inkarnasi ataupun reinkarnasi). Ketiga kualiti ini tersemat dan
seimbang di dalam Maya dan
menyeimbangkan hubungan yang berlaku dalam alam semesta (Swami Prakashanand,
2001: 148). Dalam kitab Bhagavatam
menyatakan peranan yang berkenaan dengan Guna,
yaitu:
Narada!, kamu lihat
ketiga-tiga kualiti ini tiada akan bergerak secara sendirian dan tiada yang
mampu membebaskan diri dari ketiga-tiga kualiti ini. Mereka akan kekal berdua (sattva dan tama) atau bertiga (dengan raja).
sattva tidak akan pernah wujud tanpa raja; raja tidak akan wujud tanpa tama;
dan kedua-dua kualiti tidak akan wujud tanpa tama. Begitu juga tama
tidak akan wujud tanpa sattva dan raja. Ketiga-tiga kualiti ini akan kekal
bertindak secara bersama-sama (buku tiga, bab 8, 42-44: 149).
Sebagaimana
juga dalam ilmu pengetahuan masa kini, seperti dalam kimiawi modern juga ada
pada sifat-sifat atomnya; Proton (+), Elektron (-), dan Neutral yang kemudian
saling berkesinambungan terionisasi membentuk berbagai unsur atau senyawa dari
besar-kecilnya pengaruh kualiti di dalamnya. Dan jika dalam pemahaman yang
lain, Maya adalah peranan dari para malaikat
yang membantu Allah dan mengemban prosesi penciptaan alam semesta. Seperti yang
ada pada Kitab Kejadian 1 pada ayat 26, di mana sang penulis menyimboliskannya
dalam artian pemakaian kata ‘Kita’. Maka, kini kita akan beralih pada Kitab
Kejadian, di mana Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya (Kejadian 1:
3-31) dan (Kejadian 2: 1-4):
3 Berfirmanlah Allah: “jadilah
terang.” Lalu terang itu jadi. 4 Allah melihat bahwa terang itu
baik, lalu dipisahkan-Nya-lah terang itu dari gelap. 5 Dan Allah
menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi,
itulah hari pertama.
6 Berfirmanlah Allah: “Jadilah
cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air.” 7 Maka
Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah cakrawala
itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian. 8 Lalu Allah
menamai cakrawala itu langit. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari
kedua.
9 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah segala air yang
di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering.”
Dan jadilah demikian. 10 Lalu Allah menamai yang kering itu darat,
dan kumpulan air itu dinamai-Nya laut. Allah melihat bahwa semua itu baik.
11 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah
tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis
pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada
tumbuhan-tumbuhan di bumi.” Dan jadilah demikian. 12 Tanah itu
menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan
segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat
bahwa semuanya itu baik. 13 Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah
hari ketiga.
14 Berfirmanlah Allah: “Jadilah
benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Biarlah
benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap
dan hari-hari dan tahun-tahun, 15 dan sebagai pada penerang pada
cakrawala biarlah benda-benda itu menerangi bumi.” Dan jadilah demikian. 16
Maka Allah menjadikan kedua benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih
besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam, dan
menjadikan juga bintang-bintang. 17 Allah menaruh semuanya itu di
cakrawala untuk menerangi bumi, 18 Dan untuk menguasai siang dan
malam, dan untuk memisahkan terang dari gelap. Allah melihat bahwa semuanya itu
baik. 19 Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keempat.
20 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah
dalam air berkeriapan makhluk yang hidup, dan hendaklah burung beterbangan di
atas bumi melintasi cakrawala.” 21 Maka Allah menciptakan
binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak,
yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah
melihat bahwa semuanya itu baik. 22 Lalu Allah memberkati semuanya
itu, firman-Nya: “Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air
dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak.” 23 Jadilah
petang dan jadilah pagi, itulah hari kelima.
24 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah
bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata
dan segala jenis binatang liar.” Dan jadilah demikian. 25 Allah
menjadikan segala jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis
binatang melata di muka bumi. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.
26 Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita
menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh
bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” 27 Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 28 Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan takhlukanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi.”
29 Berfirmanlah Allah: “Lihatlah,
Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan
segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. 30
Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan
segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Ku-berikan segala tumbuh-tumbuhan
hijau menjadi makanannya.” Dan jadilah demikian. 31 Maka Allah
melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan
jadilah pagi, itulah hari keenam.
2 (1) Demikianlah diselesaikan langit
dan bumi dan segala isinya. 2 (2) Ketika Allah pada hari ketujuh
telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari
ketujuh dari segala pekerjaan yang telah di buat-Nya itu. 2 (3) Lalu
Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah
Ia berhenti dari segala penciptaan. Yang telah dibuat-Nya itu. 2 (4)
Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan.
Semua prosesi hal ini pun sejalan dengan mitologi
Aztec dan Maya serta ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi ada perbedaan makna
simbolis tersembunyi darimana manusia sebagai kunci penutupnya (di bahas pada
penulisan “NAFAS”, Noah Ark from Atlantis).
Serta di sini tokoh ‘pencipta’ lebih terhierarki seperti Agama Hindu pada sosok
Brahma dan Maya, dengan di sini Allah
sebagai tokoh utama dan Kita (para malaikat) sebagai pendukungnya.
Nah, jika
Kitab Kejadian menjelaskan hal-hal 6 hari utamanya proses penciptaan bumi
beserta isinya dengan 1 hari yang lain (hari ke-7) sebagai pengkudusan-Nya,
maka dari agama Budha sendiri yang lebih memahami bahwa prosesi terjadinya
dunia adalah lebih kepada sebab dan akibat (patticasamupadda).
Dan ternyata, hal ini juga dijabarkan dalam 6 hal sebagai proses-prosesnya, di
mana Akira (1990: 179-181) telah membuat enam klasifikasi potensi sebab dan
akibat, yaitu:
Ø Karanahetu
adalah
sebab yang menjadi kewujudan yang lain yaitu merujuk kepada sebab yang penting.
Dengan kata lain, semua dharma membantu
dalam menghasilkan dharma yang lain.
Ø Sahabhuhetu
atau
penyebab serentak adalah dharma yang
berkhidmat secara serentak menjadi sebab dan akibat, bergantung dan bergabung
antara satu dan yang lainnya. Seperti tanah, air, api, dan angin secara
serentaknya muncul dalam molekul dan menghasilkan tenaga atau fenomena.
Ø Sabhagahetu
atau
penyebab sama. Biji benih padi hanya akan menghasilkan tunas padi dan tidak
mungkin menghasilkan tunas durian.
Ø Sampryuktakahetu
atau
penyebab yang seiring (concomitant cuase)
adalah deskriptif hubungan yang seiring antara minda (citta) dan fakulti mental (caitasika)
atau otak. Kategori ini dilihat sebagai fasiliti mesti sama untuk menghasilkan
natijah yang harmoni. Kereta tugasnya adalah membawa pemandu, tetapi pemandu
mau menggunakan kereta untuk mengadun kek. Maka wujud kesan yang bercelaru dan
tidak seimbang.
Ø Sarvatragahetu
yaitu
alam semesta tidak semestinya bersifat harmoni dan seimbang, kuasa dan
kekacauan juga boleh menjana sebab dan akibat, tetapi dalam bentuk keburukan.
Sebagai contoh fenomena bencana alam semesta, agama Budha melihat sebab
kejadian bencana adalah karena adanya kekotoran moral manusia yang menghasilkan
akibat buruk yaitu kemusnahan (samsara).
Ø Vipakahetu
atau
penyebab penghasilan yang merujuk kepada sebab dan akibat adalah dua jenis yang
berlainan. Sebagai contoh penyebab yang baik menghasilkan kesan yang baik.
Penyebab yang buruk mendatangkan kesengsaraan. Sebab yang baik atau yang buruk
akan menghasilkan hukuman atau penghasilan (vipakaphala)
bergantung kepada baik atau buruknya sebab. Dalam konteks ini, keseronokan atau
penderitaan adalah penghasilan yang timbul apabila perbuatan dilakukan (Vipakahetu).
Penjelasan
ini pun memang diusahakan untuk lebih merujuk penjelasannya kepada pemikiran
logika penyederhaan kita secara kenyataan di mana penciptaan alam semesta dan kita
sebagai manusiannya saat ini benar-benar terkunci dalam ikatan keberadaan di
dunia yang materil dan merusak. Dan ajaran sang Budha sebagai inspirasi
pelepasannya.
Uniknya lagi,
dalam proses terjadinya bumi ini menuju kehidupan seperti sekarang ini juga
ditandai dengan enam (6) periode yang terprediksi dalam ilmu pengetahuan modern
Geologi pada Zaman Paleozoikum yang
juga disebut Zaman Primer atau Zaman Hidup Tua. Zaman Paleozoikum adalah zaman ketika terdapat kehidupan pertama di bumi.
Disebut juga Zaman Primer karena untuk pertama kalinya ada kehidupan.)
Paleozoikum (bahasa Yunani: palaio,”tua”,
dan zoion, “hewan”, berarti “kehidupa purba”) adalah era
pertama dari tiga era pada eon Fanerozoikum.
Era ini berlangsung pada kurang lebih 542-541 juta tahun yang lalu. Dan ada
juga perkiraan lain bahwa zaman ini berlangsung 340 tahun. Zaman tersebut di
bagi menjadi enam periode yang berturut-turut dari yang paling tua, yaitu:
Ø Kambrium
Kambrium
(bahasa Inggris: Cambrian) adalah periode pada skala waktu geologi yang dimulai
sekitar 542 ± 1,0 juta tahun yang lalu di akhir eon Proterozoikum, dan berakhir pada sekitar 488,3 ± 1,7 juta tahun
lalu, dengan dimulainya periode Ordovisium.
Periode ini merupakan periode pertama era Paleozoikum dari era Fanerozoikum.
Nama “Kambrium” berasal dari Cambria, nama klasik untuk Wales, wilayah asal
batuan dari periode ini pertama kali dipelajari.
Ø Ordovisium
Ordovisium adalah suatu periode pada era Paleozoikum yang berlangsung antara
488,3 ± 1,7 hingga 443,7 ± 1,5 juta tahun yang lalu. Periode ini melanjutkan
periode Kambrium dan diikuti oleh periode Silur.
Periode ini mendapat namanya dari salah satu suku di Wales, Ordovices, ini
didefinisikan oleh Charles Lapworth pada tahun 1897 untuk menyelesaikan
persengketaan antara pengikut Adam Sedgwick dan Roderick Murchison.
Masing-masing mengelompokan lapisan
batuan yang sama di Wales Utara masuk dalam periode Kambrium dan Silur. Lapworth mengamati bahwa fosil
fauna pada strata yang dipersengketakan antara ini berbeda dengan fauna pada
periode Kambrium maupun Silur
sehingga seharusnya memiliki periode tersendiri.
Pada zaman Ordovisium, hampir seluruh daerah di
sebelah utara garis balik berupa lautan. Masa daratan berkumpul menjadi benua
super Gondwana, yang bergerak menuju Kutub Selatan. Iklim bumi saat itu hangat.
Di dasar laut, terdapat trilobia
(sejenis udang) dan invertebrate (hewan
tanpa tulang belakang) dengan cangkang bersendi yang disebut brachiopoda. Ada juga hewan pembangun
karang, seperti koral dan lili laut, chephalopoda
mirip cumi, serta beberapa ikan awal. Ketika Gondwana mencapai Kutub
Selatan pada akhir zaman Ordovisium, iklim
berubah. Sejumlah besar gletser terbentuk dan mengeringkan laut-laut dangkal.
Sekitar 60% invertebrate laut
menghilang dari rekaman fosil.
Ø Silur
Silur adalah periode pada skala waktu geologi yang berlangsung mulai
akhir periode Ordovisium, sekitar 443,7 ± 1,5 juta tahun
yang lalu, hingga awal periode Devon,
sekitar 416,0 ± 2,8 juta tahun yang lalu. Seperti periode Geologi lainnya, lapisan
batu yang menentukan awal dan akhir periode ini teridentifikasi dengan baik,
tapi tanggal tepatnya memiliki ketidakpastian sebesar 5-10 juta tahun. Awal Silur ditentukan pada suatu peristiwa
kepunahan besar (Ordovisium-Silur)
sewaktu 60% spesies laut musnah.
Ø Devon
Devon berlangsung antara
416,0 ± 2,8
hingga 359 ± 2,5juta tahun yang lalu. Namanya berasal dari Devon, sebuah tempat
di Inggris, tempat pertama kalinya batuan Exmoor
yang berasal dari periode ini dipelajari. Zaman Devon sering disebut sebagai
masa kejayaan ikan. Banyak ikan tak berahang dan placoderma hidup pada zaman ini.
Pada akhir
zaman Devon, ada dua galur evolusi ikan. Galur pertama, ikan bersirip pipih
yang semakin beraneka ragam dan meliputi sebagian besar ikan masa kini. Galur
kedua, ikan bersirip bulat yang kini hanya diwakili oleh enam ikan paru-paru
dan ikan Coelacanth, meskipun pada
zaman Devon banyak terdapat spesies. Ikan-ikan ini bisa bernapas di udara dan
bergerak dengan sirip bulatnya. Para ahli percaya bahwa vertebrate darat pertama berevolusi dari kelompok ini. Adapun
kondisi laut pada zaman Devon dipenuhi Brachiopoda
dan berbagai jenis koral yang tumbuh menjadi karang besar. Trilobite dan makhluk bercangkang sendi yang disebut Bivalvia berkeliaran di dasar laut,
meninggalkan jejak dan liang. Lili laut, Blastoida,
dan koloni Graptolita juga hidup
di dasar laut. Pada akhir zaman Devon, terjadi kepunahan massal. Banyak ilmuwan
percaya, hal ini dipicu oleh kedatangan zaman Es lain yang menyebabkan turunnya
permukaan laut di seluruh dunia.
Ø Karbon
Karbon adalah suatu periode dalam skala waktu Geologi yang
berlangsung sejak akhir periode Devon sekitar 359 ± 2,5 juta tahun yang lalu
hingga awal periode Perm sekitar
299,0 ± 0,8 juta tahun lalu. Seperti halnya periode Geologi yang lebih tua
lainnya, lapisan batuan yang menentukan awal dan akhir periode ini
teridentifikasi dengan baik, tapi tanggal tepatnya memiliki ketidakpastian
sekitar 5-10 juta tahun. Nama “Karbon” diberikan karena adanya lapisan tebal
kapur pada periode ini yang ditemukan di Eropa Barat. Dua pertiga masa awal
periode ini disebut subperiod
Mississippian dan sisanya disebut subperiod
Pennsylvanian. Pohon-pohon Konifer muncul pada periode yang penting ini.
Pada zaman ini, kehidupan di daratan telah sepenuhnya berkembang. Saat itu,
hutan-hutan batu bara dihuni oleh serangga raksasa, berbagai Arthropoda, dan reptilian pertama. Zaman
ini berakhir ketika zaman Es di mulai, yang mempengaruhi hampir seluruh belahan
bumi selatan.
Ø Perm
Perm atau permian adalah
periode dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 299,0 ± 0,8 hingga 251,0 ±
0,4 juta tahun lalu. Periode ini merupakan periode terakhir dalam era Paleozoikum. Perm dibagi tiga kala,
yaitu Lopongiar, Guadalupian, dan Cisuralian. Zaman Perm, yang telah terjadi sebelum Masa Mesozoikum, berakhir dengan kepunahan missal 95% spesies. Kepunahan
ini memicu evolusi Dinosaurus. Kematian Dinosaurus meninggalkan ruang bagi
kelompok hewan lain untuk mengambil alih. Ini adalah giliran mamalia dan burung
yang menyebar ke seluruh dunia, dan berkembang menjadi aneka ragam spesies.
Itulah enam periode dalam masa Paleozoikum.
Pada awalnya, di ‘sana’ diendapkan dari materi kosong yang lebih
halus dan lembut daripada cahaya. Kemudian datang gas yang sangat halus. Jika
mata manusia telah melihat pada sejarah fajar, mata itu akan melihat kabut
kosmis yang luas. Gas atau kabut ini adalah yang melahirkan dari Semua yang
Hidup, jika seperti sekarang pada manusia adalah sang Ibu. ‘Ibu Bumi’, sebut
saja begitu, akan berubah dalam perjalanan sejarah ini dan menduga banyak
bentuk berbeda, banyak nama berbeda (Dewa-Dewi, Tuhan, Allah, dan sebagainya),
tetapi pada awalnya, “bumi tanpa bentuk dan kosong”.
Sekarang untuk pembalikan keberuntungan besar pertama, dalam
penceritaan Alkitab pada frasa: “Kegelapan di atas wajah bumi.” Menurut
komentator Alkitab yang bekerja di dalam tradisi esoteris, ini adalah cara
Alkitab mengatakan bahwa ‘Ibu Bumi’ diserang oleh angin kering yang membakar
(mungkin seperti angin gurun yang panas atau wedhus gembel yang terhembus dari kawah gunung berapi) sehingga
nyaris mematikan kemungkinan untuk hidup bersama.
Dan bagi mata manusia, hal itu akan tampak seolah berkabut yang
terjalin dengan lembut yang berasal dari pemikiran Tuhan tiba-tiba diambil alih
oleh pancaran kedua. Ada sebuah badai seperti fenomena yang jarang dan
menakjubkan diteliti oleh para astronom pada kematian sebuah bintang, mungkin
kecuali bahwa di sini pada awalnya hal itu merupakan sebuah skala yang
benar-benar luar biasa yang mengisi seluruh alam semesta. Pada sisi lain dalam
alam semesta hubungan antara pikiran dan materi jauh lebih akrab. Hubungan itu
adalah hubungan dinamis yang hidup. Segalanya dalam alam semesta ini hidup dan
sadar hingga taraf tertentu, menanggapi kepekaan dan kecerdasan hingga
kebutuhan kita yang terdalam dan terlembut. Sebagaimana seperti seorang ilmuwan
menjelaskan sejauh itu, “sebuah penyakit materi”.
Jadi ini adalah apa yang seharusnya terlihat oleh mata fisik,
tetapi bagi mata imajinasi awan besar kabut dan badai besar yang menyerang bisa
jubah momok raksasa. Mungkinkah ini juga sisi lain seperti dari angin puting
Beliung , angin Bohorok, badai Katrina dan lainnya?
Para ahli geologi memberi tahu kita bahwa seiring berjalannya
waktu bumi mengalami proses pendinginan sehingga bumi secara perlahan naik dari
kerak tipisnya yang berupa batuan meleleh. Kemudian uap air di atmosfer mulai
mengkondensasi dan jatuh di atas kerak ini sehingga membentuk sungai, danau,
dan laut pertama. Partikel-partikel debu dan batuan air terakumulasi pada
lapisan-lapisan, atau strata, tingkatan yang kemudian mengeras membentuk batuan
berlapis. Batuan-batuan berlapis ini berada dalam kedalaman 25 mil di bawah
permukaan bumi dan mengandung sisa-sisa fosil tanaman dan binatang. Fosil ini
menunjukkan bahwa kehidupan di mulai dari bentuk-bentuk yang rendah di muka
bumi, dan bahwa semua kehidupan yang ada telah berkembang dari bentuk-bentuk
paling awal ini, bentuk-bentuk yang lebih rendah.
Sebagaimana dalam literatur kuno pada mitos-mitosnya, pada ilmiah
modern pun astronomi dan geologi memberikan gambaran mengagumkan tentang bumi
di masa lalu. Para astronom memberi tahu bahwa luar angkasa sebagian besar
hanyalah ruang kosong atau hampa. Dan bahwa di interval-interval mahaluas di
ruang kosong atau hampa ini terdapat apa yang di namakan “bintang-bintang”
tetap berupa massa zat yang berpijar, di
mana bahwa matahari adalah semacam bintang besar atau pusat bintang, dan bahwa
matahari melemparkan massanya satu demi satu yang membentuk planet-planet yang
berada dalam sistem tata surya. Maka bumi kita terpisah dari matahari induk
mungkin lebih dari seratus juta tahun yang lalu.
Selain pada kisah Amun-Ra pada mitologi Mesir, ataupun dalam drama
penciptaan dengan penokohan dewi Bumi, dewa matahari dan Saturnus pada mitologi
Yunani, kesinambungan dalam literatur kuno pada perpisahan antara bumi dan
matahari ini juga ada dalam sebuah cetakan pada abad ke-17 yang menggambarkan
tulisan Robert Fludd akan hal tersebut. Ia merupakan sarjana Rosikrusian yang
terkenal dan dipercaya secara tradisional telah menjadi salah satu anggota
dewan yang menerjemahkan Alkitab Raja James. Karena ternyata, baik Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru dalam Alkitab banyak bagian yang menyinggung
metafora Dewa Matahari dalam penciptaan seperti yang biasa dipahami dalam
agama-agama dunia kuno. Begitu pula dalam kultural kuno yang turun-temurun pada
beberapa kebudayaan masyarakat daerah di Indonesia selain ada yang akhirnya
melebur menjadi kultur baru seiring munculnya modernisasi keyakinan berbagai
agama yang masuk ke Nusantara.
Jika dianalisa kembali, seperti yang sudah disimpulkan di atas...
pemahaman waktu seringkali menjadi kesenjangan logika keempirisan antara
literatur kuno dan penjabaran ilmiah modern. Selain itu juga yang menjadi sudut
pandang mendasar adalah di mana ekosistem penyampaian literatur kuno masih
adanya alam rohani untuk mengambarkan perwujudan yang akan di yakini alam materi
sekarang ini. Sedangkan ekosistem penjabaran ilmiah modern lebih ditonjolkan
kepada sistematis dan estetika materialis dari bentuk logika yang ternyata
saja.
Ilmu pengetahuan dan agama setuju bahwa pada mulanya kosmos
bergerak dari sebuah ketiadaan materi kepada keberadaan materi. Namun, ilmu
pengetahuan tidak menjelaskan dengan luas tentang transisi misterius ini
sehingga semuanya menjadi sangat spekulatif. Para ilmuwan bahkan terpecah pada
pendapat apakah materi diciptakan sekaligus atau materi masih terus tercipta.
Sebaliknya ada kebulatan yang mengagumkan di antara para pendeta
pemula dari dunia kuno, seperti pada masa Oriental kuno. Rahasia pengajaran
mereka tersembunyi dalam naskah-naskah suci dalam agama-agama besar dunia.
Nah, untuk mencoba pendekatan persamaan waktu antara literatur
zaman kuno dan penjabaran ilmiah modern di mana pada contoh-contoh proses
penciptaan di atas, saya coba dekatkan secara imajinatif. Dengan adanya
kesamaan 6 masa proses pembentukan bumi pada Kitab Kejadian dan ilmiah Geologi,
untuk pendekatan waktunya kita dapatkan dari teori agama Hindu di mana satu
tahun Ketuhanan bersamaan
3110.4 milyar tahun manusia. Berarti kesenjangan perbedaan waktu ini
karena sudut pandang ekosistem alamiah yang digunakan berbeda, yaitu karena
literatur-literatur kuno ada yang menggunakan alam rohani sebagai acuan
gambaran waktu. Sedangkan dari sisi ilmu
pengetahuan modern, penjabaran waktu akan terasa berlangsung sangat lama karena
kita berada di logika alam materil. Karena di bumi ini waktu berproses lebih
berkali-kali lipat dari waktu yang terdapat di alam rohani.
Sebagaimana jika para astronot, misalnya mereka terjebak di luar
angkasa karena pesawat antariksa mereka hancur bertubrukan dengan batuan
angkasa luar. Mereka pun terkurung di ruang hampa udara yang maha luas itu di
antara serpihan pecahan bebatuan dan bangkai pesawat. Mereka melayang-layang
pelan dengan sekelilingnya seolah-olah menjadi sangat lambat bebatuan itu
mengitari mereka dan waktu seolah terhenti di dalam selubung bebatuan itu.
Misalkan, mereka baru saja melawat di angkasa luar itu 3 hari dari yang mereka
rasa saat mereka meninggalkan bumi, namun didapati waktu di bumi, ternyata tim
lain mereka di bumi sudah terhitung 3 bulan memantau sejak mereka lepas landas
ke angkasa luar. Kira-kira seperti itulah analogi kesenjangan waktu literatur
kuno dan ilmiah modern karena sudut pandang ekosistem alam yang berbeda. Jadi,
satu hari yang dimaksud dalam Kitab Kejadian adalah bukan “hari” biasa kita
dapati seperti hari yang kita rasakan dan dapatkan sekarang di kehidupan
materil ini. Dengan penyatuan kemungkinan membagi sejarah bumi sepanjang
perhitungan ilmu pengetahuan modern yang milyaran tahun itu ke dalam enam zaman
terpisah, masing-masing setara dengan satu dari enam hari penciptaan.
Maka, jika dalam 1 tahun Ketuhanan adalah bersamaan 3110,4 milyar tahun
manusia, berarti kita akan dapati 1 hari
Ketuhanan bersamaan ± 8,5 milyar tahun manusia. Dan dalam prediksi Geologi
tercatat, bahwa batuan tertua bumi kira-kira 3,8 milyar tahun yang dimasukan
dalam periodesasi Zaman Tertua-nya (Zaman Arkaekum). Berarti jika kita
sambungkan analoginya, satu hari penciptaan Kitab Kejadian mewakili ± 8,5
milyar tahun untuk terproses di bumi, terlepas dari sudut pandang lain dari
Kitab Yobel yang mendasari 1 hari Ketuhanan sama dengan 1000 tahun manusia.
Dan
mungkinkah hal ini bisa didapatkan semua jangkauan perwaktuan awal yang sudah
ditelusuri dari berbagai bidang ilmu alam modern dengan pemahaman literatur
kuno seperti pada Kitab Kejadian? Di mana sesungguhnya saat Allah berfirman
untuk segala air yang di bawah langit untuk berkumpul pada satu tempat, hingga
kemudian ada bagian kering yang dinamakannya daratan adalah hari Ketuhanan saat
periode Geologi Zaman Arkaekum dengan batuan tertua yang tercatat berumur kira-kira
3,8 milyar tahun itu.
Akan tetapi
masih juga banyak hal yang begitu mengganjal untuk keterkaitan logika semua
itu. Di mana hal-nya seperti dalam setiap pergantian periode Geologi dalam
setiap masanya sering ditandai dengan perubahan alam yang tidak stabil seperti
interglasial dan glasial yang diikuti dengan kepunahan suatu kehidupan yang ada
saat itu. Jika ini coba dikaitkan dengan Kitab Kejadian, kemungkinan besar ada
dua alternatif. Yang pertama, jika dikaitkan dengan waktu dan proses di mana
saat Allah melihat bahwa apa yang diciptakan pada hari itu baik dengan kemudian
jadilah petang dan jadilah pagi. Di mana yang di maksud pergantian waktu
petang-pagi adalah saat kemunculan-kemusnahan pada setiap penjabaran ilmiah
Geologi mendapati zaman periodenya masing-masing.
Sedangkan
yang kedua, sesungguhnya bahwa bumi sudah mendapati kekiamatannya berkali-kali
untuk meregenerasi segala isinya berikut kehidupan yang sudah ada. Jika
dikaitkan dengan Kitab Kejadian, akan mungkin seperti genosida pada masa Nuh,
di mana ada bencana air bah dan musnahnya kehidupan bumi dengan pengecualian
yang terselamatkan dari bencana itu seperti Nuh. Dan juga seperti yang pernah
diartikulasi pula oleh generasi kuno; Deucalion, Plato, Proclus, Diodorus,
Pliny, Strabo, Plutarch, serta generasi modern seperti Prof. Arysio Santos dan Oppenheimer terkait hilangnya perabadan masa
lampau (Atlantis) dengan adanya bencana alam dan banjir besar (Bahtera Nuh)
karena dampak dari perubahan jaman seperti peralihan Zaman Es dengan adanya
interglasial, glasial, dan pasca glasial. Dan hal ini pulalah yang menjadi
penanda muncul-hilang periodesasi yang ada dalam ilmiah Geologi. Dengan berarti
kemungkinan kedua ini, periodesasi Geologi seperti Zaman Primer adalah
periodesasi yang ada pada Alkitabiah dari Adam sampai Nuh. Dan siklus itu, kita
saat ini pun dalam suatu siklus periodesasi zaman penerus lainnya, yaitu Neozoikum atau zaman hidup baru bumi di
mana akhir zaman nanti seperti yang sudah ada dalam berbagai penceritaan dan
pencitraan untuk sebagai penutupnya.
Terkait dengan prosesi berikutnya, adalah prosesi penciptaan
manusia masih kepada perbandingan literatur kuno dan ilmiah modern untuk
mencoba berada pada persamaan logika dan penjabaran tersendiri secara terpisah
pembahasannya dari penulisan ini. Di mana sebagai adanya sisi lain dari
pertumbukan prosesi alam semesta, dalam ranah manusia seperti pada masa Adam
hingga Nuh. Yang mungkin juga, bisa sedikit menyibak selubung gelap pada teori
Evolusi yang pernah dikumandangkan Charles Darwin. Dan ini pun tak lebih dari
sekedar dan sekelumit opini untuk mendapati suatu persamaan dari perbedaan yang
ada, dengan kemungkinan tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan
penyampaiannya... (NB: dari berbagai sumber).
Bersambung ke penulisan “NAFAS”
(Noah Ark From Atlantis)...
Frankincense (Purwokerto, 8 Maret 2018)
Komentar
Posting Komentar