EnTe | Dinamika Nasionalisme Modern (DINAMO)



Sejak awal tahun 1900-an, ide nasionalisme para cendekiawan pribumi telah menjadi seampuh ide devide et impera kolonial dalam membentuk sejarah modern Indonesia. Kebangkitan nasional di Indonesia kala itu telah menandai perubahan tata perlawanan terhadap imperialisme kolonial menuju suatu kesatuan pada kehidupan bangsa. Sebuah “bangsa” bisa didefinisikan sebagai rakyat atau sekumpulan rakyat yang dipersatukan oleh cita-cita dan tujuan yang sama. Sebuah kata yang sebaiknya tidak disalahgunakan dengan “negara”, yang berarti komunitas politik secara menyeluruh, tidak juga dengan “pemerintah”, yang mengacu pada badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.  Lantas, apakah berbagai peristiwa hingga kini segera menunjukkan bagaimana langkah “bangsa” itu dijaga dengan baik di Indonesia?
Perasaan nasionalisme pada dasarnya adalah produk sejarah. Apa yang membentuk suatu bangsa adalah kesamaan warisan kenangan masa lalu dan harapan untuk masa depan. Kita telah lama bergabung dengan ironis, tetapi nasionalisme orang-orang Nusantara tidak hilang. Dalam mendayung demokrasi di antara arus budaya politik yang semakin di adu domba, perlawanan walau bersifat kedaerahan masih bisa terjadi dengan pada akhirnya momentum Kebangkitan Nasional menyatukan semangat nasionalisme menuju “negara” kesatuan untuk kemerdekaan Indonesia. Hanya saja kolonial dulu lain pula dengan kolonial modern jaman sekarang, vampir itu kini telah berbudidaya dan ter-kembangbiak-an sendiri di berbagai lapisan masyarakat Indonesia dengan menancapkan pengaruh dan menghisap darah “bangsa” mereka sendiri. 20 tahun reformasi pun masih menjadi tanda tanya akan arah dan tujuan bangsa dan negara. Soal prakarsa, lidah bisa bohong... tapi kalau soal rasa, lidah tidak bisa bohong....
Ternyata keunikan sisi lain Indonesia dalam wadah “bangsa” dan “negara” pada kebangkitan suatu dinamo penggerak dinamika nasionalisme modern adalah tradisi vampirisme secara turun-temurun. Ibarat pepatah, “air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga” ataupun “sifat orang tua menurun pada anaknya” di mana lingkungan kekerabatan menjadi potensi yang sangat subur untuk menerbangkan visi-misi vampirisme dari kegelapan menuju kilauan hedonisme. Maka, tatanan itu sepertinya tidak lagi bak konsep MLM (Multi Level Marketing) mengerucut untuk Asal Bapak Senang (ABS) seperti di masa lampau kini hanya bergeser dalam cakupan yang lebih merata atau menyebar menjadi Asal Bala Senang (ABS) bak konsep MC (Money Changer) yang akan membawakan acara bancakan “bangsa” dan “negara” dengan semarak aristokratisme sambil mempertunjukkan adegan sulap yang menakjubkan. “Oh, duniamu mengalihkan duniaku...” mungkin ini yang dapat anda ungkapkan saat terpana para vampir beraksi menyihir suasana dengan hasrat dan ambisius mereka menyelubungi jabatan.
Nasionalisme hampir tidak hidup di antara orang-orang yang dianggap primitif atau kuno dan terbelakang, yang menjadikan pedalaman kecil atau perkampungan besar sebagai kesatuan sosial tipikal mereka. Nasionalisme juga tidak dikenal oleh orang-orang emperorisme, yang menciptakan “negara” luas. Nasionalisme tidak aktif di sebagian perabadan yang lengah dan pongah, ketika feudalisme para konglomerat tuan tanah bersifat lokal dan hirarki perkumpulan keagamaan serta konglomerasi mafia bersifat internasional. Hanya menjelang akhir periode perjengahan ini, rasa nasionalisme muncul di beberapa kondisi kritis peristiwa. Ini dikarenakan berbagai alasan seperti hasil dari, sebut saja “Kongres Vampirisme”, berikut analoginya:
·         Pertumbuhan kekuasaan birokrasi yang bertentangan dengan pertumbuhan kekuasaan feudalisme kecil dan menengah (Third Estate) atau jika di Prancis disebut juga dengan kaum Borjuis. Di mana kaum ini yang terkadang selalu jauh lebih nasionalis dalam sikap mereka dari pada model kebangsawanan atau konglomerasi atas atau dengan model tokoh masyarakat atau keagamaan yang berpengaruh.
·         Munculnya bahasa gaul kronik dan literatur kode etik lokal yang mengantikan bahasa baku ataupun bahasa resmi yang berlaku secara bahasa persatuan atau universal-nya.
·         Bahaya penaklukan oleh orang-orang asing yang tidak terintegrasi maupun yang terintegrasi dengan orang-orang lokal seperti cara kolonial, yang secara luas menstimulasi sentimen patriotik dalam berbagai arus kepentingan.
Reaksi yang muncul akibat Kongres Vampirisme macam itu harus dikendalikan,  sehingga tidak bisa menghancurkan aspirasi nasionalisme suku-bangsa di Indonesia. Dan seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya, nasionalisme bergabung dengan sentimen liberal atau demokratis yang dibangkitkan oleh Revolusi Kemerdekaan Indonesia dan Reformasi untuk memprovokasi pergolakan revolusioner antara 1908-1945 dan 1998. Gerakan ini hanya memperoleh kesuksesan parsial. Tetapi selama hampir 20 tahun, Reformasi ini memperoleh kemenangan mencolok pada kesuburan nasional pada praktik penyatuan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menjadi jantung hati KKN bergelora asmaranya dalam pergumulan memainkan darah “bangsa”.
Maka, revolusi sejak dini mulai dari generasi muda sangat membantu perkembangan sentimen nasionalisme. Penyebaran pendidikan bermutu (tidak menyesatkan). Di mana pada penguatan pendalaman pengetahuan muatan lokal mulai dari segi seni, bahasa, serta sosial-budaya masing-masing  daerah. Untuk kemudian penyatuan nasionalisme dari muatan lokal ini dikombinasikan dengan penguatan pendalaman yang lebih global pada pengetahuan Kewarganegaraan, salah satunya dengan menggalakan pembelajaran materi anti KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Tak ketinggalan kunjungan ke tempat-tempat penting dan bersejarah mulai dari yang terdekat. Selain belajar juga terimbangi sisi rekreasi dan rekreatif pada pembelajaran alam terbuka secara saintis maupun historis yang lebih merangsang generasi muda secara intuitif dan imajinatif menjadi lebih kongkret dan mendalami. Dengan setidaknya, akan ada bibit-bibit unggul yang tumbuh lebih ternetralisir dari KKN dan lebih menjiwai sebagai penggerak DINAMO (Dinamika Nasionalisme Modern) baru untuk Indonesia maju dalam percaturan global di masa depan yang lebih baik, jelas dan terarah.
Sedangankan penyebaran multifungsi fasilitas perdagangan pada ekonomi kreatif dan kondusif, perjalanan, dan hubungan antar bangsa dan negara yang baik secara apa adanya (bukan secara ada apanya) selama masa modern membuat ide-ide nasionalisme bisa terserap oleh masyarakat di setiap wilayah terarah positif dan aktif. Para revolusionis menciptakan “tanah air” sebagai istilah yang seperti kita pahami saat ini. Para revolusionis dalam teks Proklamasi menggunakan istilah “atas nama bangsa Indonesia” untuk mengantikan cap feudalisme masyarakat kerajaan yang sebelumnya setelah dari berbagai kerajaan Nusantara yang pernah berdiri juga masih dilanjutkan modernisasinya oleh kolonial Belanda, maka diharapkan agar tidak lagi dilekatkan pada pencapaian makna kemerdekaan saat itu. Mereka menggunakan kecintaan pada bangsa untuk menggantikan kesetiaan pada seorang gubernur kolonial atau seorang raja semata. Ketika sebuah usaha dilakukan untuk menghancurkan revolusi seperti pada perang mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda dan Sekutu maupun pemberontakan berbasis ideologi-ideologi asing , mereka bangkit bersama sebagai satu kesatuan dan mengusir para penyerang keluar dari “bumi Nusantara” atau “tanah suci” Indonesia. Mereka mulai semakin merasakan keterikatan bersama dan menyebut diri mereka sebagai bangsa, hingga mereka harus terpuruk kembali pada vampir-vampir yang telah menjelma menjadi sangat rapi dan terorganisir di balik layar menancapkan taring-taring hedonis menghisap nasionalisme kebangsaan yang darahnya makin layu dan kering.
Diberkati dengan semua antusiasme dan semangat moral nasionalisme yang tinggi, tokoh revolusi seperti Soekarno dari masa awal dewasa mengabdikan dirinya untuk regenerasi bangsanya. Di masa ketika rintangan-rintangan terlihat tidak bisa dilalui, ia percaya bahwa jutaan rakyat Indonesia bisa membebaskan diri mereka sendiri, jika mereka bersedia meninggalkan kepentingan lokal dan perselisihan di dalam patriotisme. Pekerjaan besar Soekarno dan rekan-rekan seperjuangan Revolusi membangun awal NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menginspirasi banyak orang dengan keyakinan ini, sehingga bisa mengubah apa yang tampak seperti utopia menjadi cita-cita yang bisa diwujudkan. Bersumpah untuk tetap setia pada republik Pancasila yang bhinneka tunggal ika, pencerminan yang sesuai dengan khazanah budaya atau perabadan leluhur. Berbagai peristiwa segera menunjukkan bagaimana sumpah itu dijaga dengan baik dan pertentangan dari itu semua pada bagaimana kita saat ini menganggap mereka semua yang berusaha dengan cara-cara ilegal untuk mengubah bentuk kedaulatan yang sudah berdiri sebagai musuh negara berkedok vampir jalur kapital dan liberal.


Frankincense (Purwokerto, 22 Maret 2018)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persepsi Introversi (bagian akhir)

CARA MENGEMBALIKAN SMARTPHONE ANDROID KE PENGATURAN AWAL (FACTORY RESET)

PITASAKA – Pitik Tarung Sak Kandang