“ SAMBEL” Sebagai Obat Nglithih








Fenomena nglithih masih saja menghiasi peristiwa-peristiwa naas di Yogyakarta. Berbagai aksi anarkis kian menjadi, dengan korban-korban yang terus berjatuhan. Seakan ancaman hukuman dan peliputan media pada peristiwa tersebut tidak menyurutkan para pelaku melancarkan serangan biadab mereka. Dan sangat disayangkan sekali, karena sebagian besar para pelaku diantaranya merupakan para remaja atau para pelajar. Sementara mereka bertindak lepas membrutal di jalanan, lalu ke mana peran serta para orang tua dalam mengawasi anak-anaknya?

            Para pelaku nglithih ini seolah bagai anak ayam yang kehilangan induknya, membabi-buta, kesana-kemari tidak karuan. Apalagi kejadian nglithih banyak terjadi di malam hari, di mana itu bukan waktu yang efektif untuk anak sekolah beraktifitas di luar rumah. Ironisnya, jika keluarga malah sebagai sosok sumber permasalahan pada para pelaku nglithih yang menimbulkan kekacauan psikologis menjadi pada suatu kondisi “Broken Home”. Ditambah pula berbagai permasalahan yang didapat dari luar rumah, maka kejenuhan yang ada pun  bisa membludak dan tidak terbendung. Terlebih jika mereka tidak ada tempat yang tepat untuk mencurahkan atau meluapkan segala keluh-kesahnya. Di usia remaja ini pun mereka menjadi labil secara emosi, pada akhirnya menjadi tumpul dan  stres, sehingga berdampak pada wahana yang dilampiaskannya. Sehingga masa-masa di mana mereka seharusnya mengasah potensi bakat dan minat yang ada menjadi terlewatkan dengan pelarian pada kriminalitas. Batasan norma yang ada pun menjadi tidak berarti lagi sebagai pedoman mereka.

            Justru hal ini menjadi sangat berbahaya, yang diakibatkan pendaman gejolak yang tertahan menjadi labil saat diluapkan secara tidak terarah.Wahana yang mereka jadikan untuk beraksi pun tidak pada tempatnya. Bahkan hanya demi mendapat suatu prestis atau gelar yang diincar dalam pergaulan bebas, mereka rela mendobrak batas norma kesusilaan. Kekuatan dan kekuasaan menjadi garis besar yang mereka onarkan demi kepuasan pergaulan atau dengan dalih melindungi diri dan beradaptasi dalam pergaulan yang semakin rentan terhadap penyimpangan sosial. Era Globalisasi ini sekaligus menjadi era waspada para pendidik (orang tua, guru, atau pihak yang berwenang) dalam mendidik anak-anaknya.

            Perlu adanya suatu program atau penbaharuan pada sistem tatanan kegiatan para anak maupun remaja, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat terkait aktifitas nglithih yang semakin meningkat. Dengan mengembalikan jati diri para anak dan remaja pada aktifitas yang positif untuk mengurangi efek nglitih yang merusak potensi masa depan generasi penerus bangsa. Adalah pada sebuah program aspirasi bernama “SAMBEL” yang saya singkat dari kepanjangan “Sanggar Bermain dan Belajar”. Pada hakikatnya dapat menjadi sebuah wadah kreatifitas di mana para anggotanya selain dapat bermain juga dapat belajar, dari situ dibutuhkan konsep-konsep membangun yang segar dan disesuaikan dengan  kondisi informal yang akrab, mendidik, dan dapat melebur dengan kultur yang ada. Selain itu, paling tidak dapat menjadi jalan keluar penyaluran bakat dan minat yang belum bisa atau tidak dapat terorbitkan di lingkungan sekolah maupun di lingkungan organisasi masyarakat lain sebelumnya. Sehingga program ini dapat diterapkan di organisasi masyarakat yang sudah ada seperti: Karang Taruna,Paguyuban Remaja RT/RW, maupun dapat berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga atau organisasi.

            Di SAMBEL ini, peran serta sukarelawan sangat besar dibutuhkan. Sukarelawan di bidangnya masing-masing dapat menjadi mentor dan kawan untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada anggota terdidik melalui konsep-konsep inovatif yang segar dan akrab. SAMBEL ini diharapkan menjadi pengisi kekosongan dan kejenuhan para anak dan remaja dalam mendapatkan wahana kreatifitas untuk tersalurkan pada tempatnya. Dengan menjadi tepat sasaran, kemudian dapat menginspirasi dan mendongkrak berbagai potensi yang positif dalam mengarahkan bakat dan minat mereka. Sehingga para remaja tidak lagi dibingungkan oleh labilitas kondisi dan pergaulan yang melumpuhkan moral maupun akhlak mereka di masyarakat. Sebagaimana sebuah bangunan tanpa pondasi yang kuat akan mudah rubuh.

Yogyakarta, 14 April 2017



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persepsi Introversi (bagian akhir)

CARA MENGEMBALIKAN SMARTPHONE ANDROID KE PENGATURAN AWAL (FACTORY RESET)

PITASAKA – Pitik Tarung Sak Kandang