EnTe | 1 Oktober Itu Hari Kesaktian "Paten"
Tepat hari ini 1 Oktober, Indonesia dicanangkan
memperingati peristiwa tewasnya para anggota ABRI yang menjadi korban Gerakan
30 September (G 30 S) atau juga dikenal sebagai GESTOK (Gerakan Satu Oktober)
sebagai hari Kesaktian Pancasila. Tapi jika menilik kembali jejak rekam
Indonesia sejak saat itu hingga saat ini sebagai era Reformasi, apakah benar
sesuai namanya bahwa kesaktian itu untuk Pancasila?
Mungkin dengan adanya penataran P4 terkait
Kepancasilaan bisa menjadi program yang baik pada masanya mempererat pendidikan
dan pengamalan ideologi Pancasila di antara para generasi penerus bangsa. Namun
pada kenyataannya tidak lebih Pancasila itu sendiri hanya menjadi tameng Orde
Baru dalam menyembunyikan jalur-jalur simpang mereka. Jika kita melihat sudung
pandang Ketuhanan yang maha esa pada peredaman gerakan ormas PKI yang dikatakan
tidak beragama ini dapat mengancam keberlangsung sila pertama itu, mungkin
sekilas kebenaran itu memang harus menjadi prioritas mutlak. Akan tetapi,
apakah tidak lebih ironis, jika dibalik P4 itu sendiri justru Orde Baru seperti
mengganggap agama tak lebih dari permainan politik yang ampuh untuk membangun
pengaruh kuat seperti pengadaan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)
dengan PKI dan Konghucu sebagai objek pelampiasan kekuasaan dari berbagai
situasi dan kondisi. Tak lebih seperti mengulang pergolakan akhir zaman
Majapahit yang semakin kental dengan pergesekan antar keyakinan menuju puncak
kejayaan, dengan sebelumnya pergolakan Perang Salib di Barat Nusantara pun
menjadi semakin satir membawa-bawa nilai keagamaan dalam kejayaan politik
feodal untuk memperbesar pengaruh kekuataan dan kekuasaan segelintir bangsawan
atau konglomerat di masa kini. Pada akhirnya, dunia politik bukan lagi paten
untuk agama menjadi dalih dan tolak ukur nota kesepahaman birokrasi dan sipil dengan
seberapa besar peran demokrasi itu sendiri?
Demokrasi pada dasarnya adalah people rule. Dalam sistem politik yang demokratis, warga mempunyai
hak, kesempatan, dan suara yang sama dalam mengatur pemerintahan di dunia
publik.1 Secara bahasa, istilah Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani yaitu demos
yang artinya rakyat, dan kratein yang
artinya pemerintah. Dengan demikian, demokrasi berarti kekuasaan tertinggi
dipegang oleh rakyat.2
Kekuasaan itu sendiri tidak hanya berkaitan dengan
bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial. Karena itu,
pengertian demokrasi mencakup tidak hanya demokrasi politik semata, tetapi juga
demokrasi ekonomi dan sosial karena pada akhirnya pun berbagai permasalahan
mengerucut pada kedua hal tersebut. Pengertian ini agak berbeda dengan
kecenderungan pengertian di negara-negara Barat. Di Barat, demokrasi hanya
dipahami dalam konteks politik, sedangkan dalam bidang ekonomi dikaitkan dengan
istilah kapitalisme, bukan demokrasi. Maka hal itu setidaknya seperti saat
Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan pendekatan politis mempublikasikan
dokumen kenegaraan di Indonesia antara tahun 1963-1968 karena tergelitik oleh
tekanan warganya pada dua film tentang G
30 S (Jagal dan Senyap) yang viral di
sana juga besutan warga Amerika Serikat sendiri dan setidak sudah sesuai dengan
aturan main hukum untuk pertimbangan publikasi dokumen rahasia setelah jangka
25 tahun. Sedangan secara ekonomi bisa seperti yang kita amati dari awal PT.
Freeport atau pergerakan lainnya berkibar di Indonesia, di manakah tempat untuk
demokrasi itu? Karena yang ada tempat untuk kapitalisme itu sendiri bukan?
Dengan ini, setidaknya kita kembali pada saat
Soekarno mengumandangkan NASAKOM dan tidak membubarkan PKI yang dianggap
membahayakan negara Pancasila itu sendiri karena tindakan anarkis PKI di masa
lalu. Soekarno di sini pun sedang bertaruh pada kesadaran PKI atau aliran komunis
di Indonesia saat itu untuk tidak
seperti komunis lain di belahan dunia lainnya yang cenderung ditaktor. Karena
setelah program nasionalisasi hingga gerakan non-blok yang di sasarkan Soekarno
pada PKI setidaknya adalah sebagai fondasi untuk sistem kooperatif seperti yang
telah dirintis oleh Raden Bei Aria Wiryaatmadja saat mendirikan De Poerwokertosche
Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden atau yang sekarang
kenal sebagai Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta seperti Mohammad Hatta
memberdayakan koperasi dan hingga dijuluki sebagai Bapak Koperasi Indonesia
walau ia pun bertengkar dengan Soekarno karena unsur komunisme dalam kabinet.
Dengan massa ormas PKI ini adalah sebagian besar buruh dan tani, maka slogan
“dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” menjadikan Soekarno berusaha
mencairkan suasana keruh saat itu dengan NASAKOM untuk mempersatukan kembali
berbagai kalangan yang semakin memanas oleh konfrontasi berbagai situasi dan
kondisi di dalam dan luar negeri pada saat itu. Setelah semua bisa disatukan
dan terjalin dengan baik sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia
menuju demokrasi, setidaknya mungkin Soekarno pun akan menyusul Mohammad Hatta
mengundurkan diri dari jabatan setelah pemilu daripada menjadi Presiden Seumur
Hidup mengingat kesehatannya yang semakin kronis saat itu.
Dengan sistem ekonomi koperasi itu, setidaknya usaha
Soekarno mengamalkan dan mengamankan sekaligus 5 sila dari Pancasila itu. Sistem
koperasi yang terbuka dan transparatif serta pluralitas peran serta anggotanya untuk
mengurangi sifat ketertutupan dan dominasi kapitalis yang mengundang korupsi,
kolusi, dan nepotisme dan berbagai guncangan keimanan ini sebagai bagian dari
Ketuhanan yang Maha Esa. Lalu bagaimana kebenaran akan pembataian yang saling
berkelindaan dari peristiwa G 30 S hingga berbagai pelanggaran HAM pada Orde
Baru hingga saat ini, siapakah yang sakti atas semua hal itu?
Oligarki justru semakin hidup dan meletup, maka
NASAKOM pada saat itu dimaksudkan untuk merangkul tiga kaum yang berpengaruh
besar pada saat itu Nasionalis, Agamis, dan Komunis menjadi basis ideologi
masyarakat dalam berorganisasi untuk menjalin kemanusiaan yang adil dan beradab
di mana pada sistem koperasi memiliki azas kekeluargaan. Namun apa yang tidak
ada dalam NASAKOM akhirnya tetap lebih besar dan kuat pengaruhnya itu menjadi
gelombang balik tsunami hingga kini, yaitu kapitalis. Manakah akhirnya yang
lebih berbahaya, komunisme sesungguhnya dengan azas kekeluargaannya yang
kooperatif atau kapitalis sesungguhnya dengan azas kartel yang liberal untuk
mematenkan segala sesuatunya?
Jika dalam kajian Bahasa Indonesia umumnya “Paten”
adalah (surat) perniagaan atau izin dari pemerintah, yang menyatakan, bahwa
orang atau perusahaan boleh membuat barang pendapatannya sendiri (orang atau
perusahaan lain tidak boleh membuatnya)3 yang pada intinya adalah suatu ketetapan
untuk suatu hak cipta atau karya pada suatu kepemilikan. Sedangkan jika kita
alihkan secara khusus pada istilah Bahasa Jawa, “Paten” yang berarti bunuh.
Nah, hingga saat ini dua artikulasi kata ini sangat ironis kesaktiannya saling
berkejar-kejaran melengkapi berbagai daya dan upaya seperti peristiwa G 30 S
tersebut dan terus berlanjut menuju penumpasan terduga PKI, kericuhan gono-gini
pergerakan kapitalis dan birokrasi Orde Baru, MATIUS (Mati Misterius) dan
PETRUS (Penembakan Misterius) serta berbagai hal yang melanda aktivis serta
masyarakat, belum lagi pembungkaman pers dan jual-beli hukum dan peraturan.
Sepertinya persatuan Indonesia yang disaktikan itu adalah “Paten” yang bagai
pinang dibelah dua, serupa tapi tak sama... begitu pula Liberalis dan
Kapitalis. Maka kesepahaman yang menyatukan Indonesia dalam komunisme
sesungguhnya yaitu azas kekeluargaan dalam musyawarah menuju demokrasi yang
utuh untuk berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Karena jika
mengikuti Liberalis barat, dalam perekonomian yang ada hanyalah kapitalisme
bukan?
“Kepada
kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan
yang kalian ciptakan. Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang
untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia,
tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang kepadamu, wahai Soekarno
sahabatku... Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka
haruslah seratus persen. Hari ini aku masih melihat bahwa kemerdekaan hanyalah
milik kaum elit, yang mendadak bahagia menjadi borjouis, sukacita menjadi ambtenaar... kemerdekaan hanyalah milik
kalian, bukan milik rakyat. Kita mengalami perjalanan yang salah tentang arti
merdeka, dan apabila kalian tidak segera memperbaikinya maka sampai kapan pun
bangsa ini tidak akan pernah merdeka! Hanya para pemimpinnya yang akan
mengalami kemerdekaan, karena hanya mereka adil makmur itu dirasakan. Dengarlah
perlawananku ini...karena apabila kalian tetap bersikap seperti ini, maka
inilah hari terakhir aku datang sebagai seorang sahabat dan saudara. Esok,
adalah hari di mana aku akan menjelma menjadi musuh, karena aku akan tetap
berjuang untuk merdeka seratus persen...”4
Tan Malaka berkata lantang pada pertemuan suatu malam (24 Januari 1946) yang
dihadiri para tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dan K.H
Agus Salim.
Meski hadir tanpa diundang, Tan Malaka yang
beraliran Komunis dari Partai Murba itu lebih bermaksud memperingatkan akan
azas Pancasila itu sendiri daripada mengancam mereka. Terutama pada sila ke-4,
yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Di mana pada kata-kata Tan Malaka menekan pada kemerdekaan yang
diatur oleh segelintir orang. Maka selain pengaruh dari luar yaitu antek-antek
kompeni juga adalah pengaruh antar golongan kepentingan masih kuat, sehingga
pemberontakan untuk menentukan nasib pun mengalir di setiap kesempatan politik devide et empera berbagai pihak
berkepentingan kembali membumi di Nusantara. Peringatan Tan Malaka pun terbukti
seperti pemberontakan PKI, DI/TII, Andi
Aziz, G 30 S, GAM, hingga OPM. Belum lagi ‘parade tutup mulut’ rezim Orde Baru
yang membayangi kehidupan masyarakat hingga saat ini.
Dengan arah politik antar golongan macam itu pun tak
lebih menggiurkan kapitalis sebagai jaminan beberapa kalangan berkepentingan
menindaki Soekarno pada program Nasionalisasi yang mengancam keberlangsungan
mereka seolah Soekarno akan seperti Joseph Stanlin yang akan merampas hak-hak
mereka dengan dalih kepemilikan negara. Soekarno pun tegas akan hal itu pun bukan
tanpa alasan, dengan kita renungkan pasal 33 UUD 1945 berikut:
1. Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
3. Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dengan ini pulalah Soekarno masih ngotot
mempertahankan partai-partai komunis, sebab jika kita samakan persepsi itikad
kepemilikan bersama komunis yang sesungguhnya salah satunya adalah pada pasal
ini. Komunis muncul untuk mendekatkan kesenjangan yang selama ini diciptakan
oleh sistem feodal yang kini menjelma menjadi sistem kapitalis pada pasal ke-5
dengan perekonomian kooperatif atas dasar asas kekeluargaan untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menuju demokrasi secara
keseluruhan (ekonomi, sosial, dan politik). Maka sisi positif komunis meniadakan
agama dalam visi-misi mereka adalah karena agama diperuntukan bagi keimanan
rohani bukan untuk keambisian duniawi. Nah sekarang ini, apa dan siapakah yang
lebih sakti untuk berpengaruh pada keberlangsungan hidup masyarakat?
Daftar Pustaka:
1 St. Sularto (ed.),
Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi
(Jakarta: Buku Kompas, 2001) hlm. 113.
2 Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan, Membangun Warga
Negara yang Demokratis; untuk kelas VIII Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008), hlm. 109.
3 W.J.S.
Poerwadarminta (diolah kembali oleh: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa), Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1976), hlm. 717.
4 Tan Malaka, Muslihat, Politik, & Rencana Ekonomi
Berjuang (Yogyakarta: Narasi, Cetakan kedua 2016), hlm. v-vi.
Frankincense (Purwokerto, 1 Oktober 2018)
Komentar
Posting Komentar