Emansilapsi Wanita Modern




21 April 1879 di Jepara, tepatnya 138 tahun silam telah lahir perintis Emansipasi wanita yang bernama R.A Kartini. Hari itu pula kini menjadi salah satu hari istimewa wanita selain hari Ibu yang dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama yaitu IR Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964. Beliau menetapkan Kartini sebagai salah satu pahlawan kemerdekaan nasional serta hari kelahiran Kartini pada tanggal 21 April sebagai hari besar yang dikenal dengan Hari Kartini. Berangkat dari perjuangan Kartini menegakkan emansipasi wanita zaman kolonial Belanda, di mana para wanita terbelenggu oleh adat-istiadat daerah dan sistem kolonialisasi yang menjadi berlipat-ganda dirongrong berbagai peraturan yang menekan sisi kebebasan pengembangan diri mereka para kaum wanita pribumi. Kata emansipasi berasal dari bahasa latin yaitu “Emancipacio”, yakni pembebasan dari tangan kekuasaan.Wanita pada saat itu tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki oleh kaum laki-laki, baik itu kebebasan untuk keluar rumah, kebebasan untuk pasangan hidup, kebebasan untuk menuntut ilmu di sekolah, kebebasan untuk bekerja di luar rumah, dan lebih-lebih menduduki jabatan di dalam masyarakat semua itu tidak dimiliki kaum wanita.

            Sekalipun Kartini adalah keturunan bangsawan, hal itu tidak menjadikan Ia lebih bebas dan terpenuhi segala keinginannya dari para wanita pribumi lainnya. Ia pun harus menjalani tradisi pingit mulai usia 12 tahun, sehingga ia pun tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan harus siap untuk dipinang oleh orang yang belum dikenal dan dicintainya untuk menerima perjodohan yang telah disiapkan oleh keluarganya. Ia pun lebih banyak menghabiskan waktu di rumah selama menjalani tradisi pingit. Korespondensi menjadi jalan tengahnya dalam menuangkan hasrat dan curahan hatinya pada para sahabat penanya. Bahkan Kartini lebih sering surat-menyurat dengan para kaum wanita negeri Belanda dalam bertukar pikiran yang notabene dicap sebagai bangsa penjajah dan kolonial yang sering bertentangan dan berlaku semena-mena pada para kaum Pribumi. Dan para sahabat pena Kartini dari negeri Kincir Air seperti Nyonya RM Abendanon dan Stella Zeehandelaar ini menjadi saksi dan penampung aspirasi pemikiran Kartini terhadap berbagai pelik yang tidak semata-mata hanya soal emansipasi wanita, tetapi juga permasalahan sosial, budaya, agama, bahkan korupsi pada masa itu.

            Kartini pun cukup beruntung, kala ia mendapatkan suami yang pengertian akan pemikiran dan keinginan Kartini. Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah pada tanggal 12 November 1903 dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Suaminya mendukung dan memberi kebebasan pada Kartini yang akhirnya mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Tetapi Kartini harus rela menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 17 September 1904 setelah ia melahirkan anak pertama sekaligus anak terakhirnya Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Ia meninggal dalam usia muda (25 Tahun), dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kematian itu pun sempat berbumbu misteri, terkait perjuangannya menegakkan Emansipasi Wanita Indonesia di zaman Kolonial Belanda. Namun perjuangan Kartini tidak terhenti sampai di situ, berkat kegigihannya kemudian didirikan sekolah wanita yang bernama “Sekolah Kartini” oleh yayasan Kartini di Semarang pada tahun 1912 yang kemudian berkembang ke berbagai wilayah seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainya. Yayasan Kartini didirikan oleh keluarga Van Deventer seorang tokoh Politik Etis.Lalu bagaimana dengan kelanjutan emansipasi wanita yang terjadi sekarang ini? apalagi di tengah globalisasi dan modernisasi yang semakin bergesekan dengan berbagai kepentingan yang tercampur-aduk?



            Nah, Emansipasi wanita kini di era reformasi sudah memasuki hampir 20 tahun lamanya. Para kaum wanita kini sudah banyak yang berpendidikan tinggi serta mobilitas atau jam terbang di luar rumah pun tak kalah padat dengan kaum pria dalam meniti karir. Hingga saat ini telah banyak berbagai posisi yang tadinya kurang etis serta berbagai jabatan penting pun sudah banyak diduduki oleh para kaum wanita. Megawati Soekarnoputri, dengan Kabinet Gotong-Royongnya menjadi presiden wanita pertama memimpin negara Indonesia tercinta ini. Martha Tilaar, meratui dunia kecantikan dengan racikan kosmetiknya. Sri Mulyani, untuk kedua kalinya kembali dipercaya menata keuangan negara sebagai Menteri Keuangan. Bahkan tidak hanya skala nasional ia dipercaya menata keuangan, skala dunia pun sudah ia jajaki. Tak kalah garangnya Susi, sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menjaga kelestarian dan kelangsungan kelautan Indonesia yang luas dan rawan perusakan dan pencurian. Susi Susanti yang menjuarai berbagai kompetisi bulutangkis tingkat dunia, dan masih banyak lagi kaum wanita yang beremansipasi dalam kesuksesan mereka memaksimalkan potensi diri masing-masing. Akan tetapi, tersalurkan dengan baik pulakah emansipasi wanita secara bermartabat? Tiada gading yang tak retak, masih banyak sisi lain emansipasi wanita yang terjerumus dalam pergumulan zaman bermodernisasi ini.

            Seperti yang pernah Presiden Joko Widodo katakan dalam pidatonya beberapa waktu lalu, bahwa demokrasi di negara kita sekarang ini sudah kebablasan. Di mana kemerdekaan yang didapatkan melalui perjuangan para pahlawan terdahulu sampai titik darah penghabisan untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah mudah. Malahan kini banyak tersimpangkan dari kebebasan yang sudah didapatkan di era Reformasi ini. Begitu pula dengan Emansipasi wanita yang ada pada saat ini, berbagai peristiwa yang menyeret para kaum wanita ke meja hijau terkait korupsi, narkoba dan sebagainya menjadikan emansipasi wanita yang kebablasan. Bahkan Emansipasi itu sendiri mereka rengut daripada kepentingan-kepentingan yang mereka simpangkan demi hedonisme modern saat ini. Pada akhirnya, “Emansipasi” itu menjadi “Emansilapsi” alias Eman-eman Tersilap Sejuta Imingan. Di mana Emansipasi itu tergeserkan oleh godaan-godaan yang tiada tertepis hingga hati yang menipis dan terironiskan.

            Di mana kebebasan emansipasi wanita warisan Kartini itu kini disalahgunakan. Tak kurang akal pula, ada terpidana wanita dalam kasus korupsi selain menyulap dana anggaran daerah juga mengubah sel penjara tahanannya menjadi ruang manikur dan pedikur bak salon pribadi. Dalam pergaulan pula para kaum wanita terjerat oleh kebebasan mereka sendiri. Seks bebas ataupun narkoba dijadikan ajang pelampiasan memuaskan hasrat hingga terdampak aborsi dan kecanduan. Generasi kaum wanita penerus Kartini pun bertumbangan dan layu terserap benalu hedonisme yang semakin menggurita. Lalu, mau di bawa ke mana Emansipasi yang telah diperjuangkan Kartini hingga ia harus menghembuskan nafas terakhir di usia muda?

            Seharusnya peran keluarga lebih andil dan ambil bagian membentengi Emansipasi agar tidak jebol menjadi Emansilapsi. Pantauan dari keluarga harus jeli dalam mengontrol kegiatan setiap anggota keluarganya di luar rumah tanpa terkesan mengekang atau mengatur batasan. Rutinlah mengadakan doa atau renungan bersama menurut keyakinan masing-masing keluarga untuk membangun interaksi dan komunikasi yang positif. Saling bertukar pikiran tanpa mengintimidasi pendapat setiap anggota keluarga. Mempondasi kesederhanaan, kejujuran serta keterbukaan pada penerapan pola kekeluargaan yang harmonis dalam mencegah pengaruh hedonisme yang rentan berdampak emansilapsi pada kaum wanita.

            Saling mendukung dan memotivasi secara positif antar anggota keluarga juga diperlukan dalam membentuk pikiran dan tindakan yang baik. Bukan malah mendukung korupsi untuk memenuhi hedonisme rumah tangga atau pribadi atau kepentingan golongan. Atau malah membisniskan obat-obat terlarang bagai Apotek Keluarga. Paling tidak, jalan tengah atau jalan keluar tidaklah menjadikan sesat dalam menyelesaikan polemik atau keputusan dengan berbagai godaan yang ada mendekatkan kaum wanita pada Emansilapsi. Akibat hedonisme yang berlebihan di zaman modern ini, kebutuhan diri para kaum wanita pun tanpa disadari meningkat drastis oleh prestis pergaulan pada keadaan terlena dan terjepit. Hal-hal seperti ini pula, kemudian menjatuhkan arti dan makna sesungguhnya Emansipasi Kartini ke dalam jurang kesilapan sosialita pada keinginan dan kebutuhan yang tiada bedanya.

            Banyak hal yang lebih bisa dimaksimalkan para kaum wanita menginter-solusi dari konsumerisasi hedonisme ke arah produktifitas seperti menjahit, memasak, membuat prakarya dari bahan sisa atau barang-barang bekas, menulis ataupun menggambar. Jadikanlah hal-hal tersebut sebagai ajang kreasi mengasah ketrampilan yang dijadikan alternatif dalam memenuhi kebutuhan. Bukankah kegiatan ektrakurikuler pun dapat menjadi gerbang pilihan pengembangan diri bagi para kaum remaja yang disesuaikan dengan minatnya masing-masing. Atau paguyuban yang sudah ada di masyarakat seperti Dasawisma, PKK dan sejenisnya yang dapat menyalurkan aspirasi para kaum wanita sebagaimana mestinya. Selektif dan mengikuti berbagai kegiatan di luar rumah seperti berorganisasi atau bersosialita dalam pergaulan, agar tidak menjadi bumerang yang dapat mengubah Emansipasi menjadi Emansilapsi. Jadikanlah gerbang Emansipasi Wanita yang disepuh oleh Kartini menjadi sebuah berkah dan anugerah yang disyukuri secara beradab. Karena jika anda kaum wanita masa kini hidup pada masa silam Kartini, kebebasan kaum wanita seperti sekarang ini sangat sulit. Janganlah hedonisme dan modernisasi merapuhkan hati para kaum wanita menuju Emansilapsi. Tebarkanlah Emansipasi Wanita secara kreatif, humanis, dan kondusif  untuk menjadi contoh yang baik pada generasi belia wanita penerus semangat Kartini di masa mendatang. Selamat Hari Kartini, Maju terus Kaum Wanita Indonesia.


Yogyakarta, 11 April 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persepsi Introversi (bagian akhir)

CARA MENGEMBALIKAN SMARTPHONE ANDROID KE PENGATURAN AWAL (FACTORY RESET)

PITASAKA – Pitik Tarung Sak Kandang